Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Revitalisasi Peran Ummi (Resensi Buku Ummi Inside)

18 Oktober 2011   02:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:49 164 0
“Ibu-ibu kita besar atau ketjil; ibu-ibu kita sadar atau lalai, -- itulah buat sebagian berisi djawabnja soal Indonesia akan luhur atau Indonesia akan hantjur.” Petikan tulisan Bung Karno itu menjadi salah satu “endorsement” sampul belakang buku Ummi Inside. Tampak jelas, penulis buku ini terinspirasi dengan pemikiran visioner sang proklamator. Betapa tidak. Pernyataan Bung Karno tersebut terjadi 83 tahun silam. Saat sebagian besar warga bangsa ini “masih tidur” dan kaum perempuan masih banyak diremehkan Lebih lanjut, juga pada sampul yang sama, Bung Karno “menyarankan” agar para keluarga lebih mengutamakan anak-anak perempuan untuk bersekolah seandainya harus memilih karena keterbatasan uang. “Bilamana tak tjukup uang sekolah untuk dua anak, lebih baik anak perempuan jang lebih dulu disekolahkan, jakni “oleh karena ialah yang akan menjadi ibu, dan oleh karena pendidikan itu mulainja ialah sudah pada waktu memberi air susu,” tulisnya. Begitu juga, pada halaman prelim, Mendiknas, Mohammad Nuh, menekankan kembali urgensi orang tua sebagai “mesin” pencetak generasi. Bila para orang tua abai akan tanggung jawab tersebut, maka bangsa Indonesia akan jadi “masyarakat sirkus,” tulisnya. Seperti forum sirkus, semuanya tampak lengkap. Ada macan, ular, gajah, dan sebagainya. Tetapi semuanya kehilangan identitas. Sirkus hanya punya dua tujuan, menimbulkan kekaguman dan kelucuan. Itulah memang “the objective of circus people”. Aktor-aktornya lengkap, tetapi tak menyelesaikan masalah sebenarnya, tambahnya. Ummi Inside adalah buku kedua karya Misbahul Huda. Setelah sukses dengan buku pertamanya, yakni Mission Ini Possible. Buku kedua ini tampil lebih soft atau lebih tepatnya bernuansa for her. Hebatnya, buku ini menggunakan penghampiran eklektik in corporate. Yakni, memadukan tiga gaya selingkung dalam sebuah buku. Tiga bab awal sarat dengan konsepsi normatif, dua bab berikutnya berupa “kolom empirik” nan cair, dinamis, dan seringkali mengejutkan. Lalu, ditutup dengan testimoni orang-orang terdekat. Meracik ketiganya dalam bingkai sebuah buku bukanlah pekerjaan gampang. Tak aneh bila kemudian cita rasanya menjadi different. Kali ini kesan Huda banget, tak lagi dominan. Apalagi buku ini sengaja dibuat lebih akomodatif. Meski ber-genre semi autobiografi. Tapi, justru itu letak kekuatannya. Yang menarik, ide lahirnya buku ini berasal dari pihak luar. Yakni, atas permintaan dan desakan dari para orang tua dan kolega penulis. Menurut mereka, selain sukses dalam karir, penulis juga dinilai sukses mendidik putra-putrinya, secara akademis dan religius. Meski demikian, penulis cukup bijak. Ummi Inside diterbitkan bukan untuk ujub karena memamerkan diri atau ghibah karena membuka aib keluarga. Tapi, untuk menjawab firman Allah “Terhadap nikmat yang telah Allah berikan kepadamu maka ceritakanlah” (halaman xxii). Di awal penerbitannya sempat muncul keraguan, kenapa penulis memilih tema segmented? Bukankah penulis punya kapasitas di bidang yang lebih populis dan “canggih?” Ternyata pilihan tema segmented (baca: untuk para ibu) adalah keputusan yang berani, sekaligus brilian! Mengapa? Sebab, kecenderungan pasar saat ini mengarah pada dominasi youth, women dan generasi nitizen. Hebatnya, poros kendali dari ketiga segmen pasar itu, sangat ditentukan oleh peran seorang ummi. Bukan itu saja. Buku ini punya positioning yang bagus. Lantaran sampai kini tak ada lembaga formal yang khusus mencetak menjadi orang tua yang baik dan efektif. Maka, kehadiran buku-buku parenting sebuah keniscayaan. Sukses Chicken Soup for The Mother’s Soul, karya Jack Canfield, misalnya, sebagai bukti bahwa buku-buku parenting dengan kemasan inspiratif dan spiritual, tak pernah kehabisan pembaca. Apalagi masyarakat sekarang lebih membutuhkan contoh aktual ketimbang pesan normatif belaka. Kenapa tema ummi yang dipilih? Rupanya penulis memiliki empati begitu tinggi pada sosok ibu dan istri. Menurutnya, dua wanita tersebut bisa memuliakan, sekaligus bisa membinasakan. Tergantung bagaimana kita “menghargainya” (halaman 264). Celakanya, sejak tahun 60-an telah terjadi revolusi keluarga. Di mana harmoni keluarga kian kehilangan arah. Edward Shorter menyebutnya sebagai revolusi “perusakan sarang” (destruction of the nest). Buku warna pink ini semakin mempertegas betapa besar minat dan talenta penulis pada banyak bidang. Meski tak ada kesimpulan dan benang merah nan tegas. Namun, buku ini bisa menjadi sumber inspirasi dan tempat berbagi, yang menggerakkan, menyentuh hati serta memberikan rasa nyaman dan bahagia. Semoga. Facebook Fan Page Kaskus Discussion

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun