Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Seandainya Boleh Poliandri

12 November 2013   08:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:17 303 0
Bu Isyah melihat wajah putrinya yang kusut masam. Perempuan baya itu duduk di tepi ranjang: "Kamu tanpak 5 tahun lebih tua dari usiamu yang sebenarnya."

Winne sedang berdiri menghadap dinding, memandangi lukisan pantai. Langitnya yang biru dibubuhi kaligrafi Arab nama lengkap dirinya serta tanggal kelahirannya.

"Dua minggu lagi hari pernikahanmu, Win, mestinya dari sekarang kamu mulai merawat diri. Jangan cemberut pada calon suami, apalagi nanti akan banyak orang melihatmu. Sering-seringlah tersenyum. Aneh kalau ada pengantin wajahnya murung begini."

Winne berbalik, melangkah lesu mendekati ibunya, lalu menjatuhkan tubuhnya ke kursi. Sekilas ia melihat bayangan wajahnya sendiri di cermin. Memang, tampak lebih tua. Ia mendesah: "Ibu tahu cara agar aku mudah tersenyum?"

Bu Isyah mengambil guci keramik mungil lalu mengelapnya dengan sapu tangan: "Nonton acara lawak di tipi?"

Winne menarik sudut bibirnya ke tepi. Begitu singkat. Isyah tak menyangka bahwa itu adalah senyuman.

"Aku ingin selalu tersenyum di depan Ibu, tapi aku tak bahagia."

"Kebahagiaanmu itu apa?"

Winne bungkam.

"Kamu sudah cukup umur untuk menikah. Ibu ini disunting abahmu di usia 16 tahun. Ibu senang. Ibu bahagia."

"Seandainya Ibu tak cinta Abah?"

"Apa kamu tak cinta Ajie?"

Winne menggeleng sedih.

"Tampan, sopan, kaya, guru muda, dari kota. Benar kamu tak cinta?"

Jawaban Winne masih gelengan kepala.

"Seandainya Ajie jadi bupati? Gubernur? Pejabat tinggi? Menteri? Presiden?"

"Aku akan tetap mencintai Dias."

Bu Isyah terhenyak. Guci yang dipegangnya nyaris terlepas: "Dias? Tukang kecap?"

Winne menunduk. Sakit hatinya. Mengapa kalimat 'Dias tukang kecap' selalu diucapkan dengan nada serendah itu?

"Jangan melupakan status, anakku. Abah mantan kepala desa, dihormati, disegani. Jika kamu punya suami orang mapan, itu akan menjaga martabat keluarga."

Winne mengeluh: "Bu, aku ingin dilahirkan dari keluarga biasa."

Bu Isyah terpekik: "WINNE! Jangan bicara sembarangan. Bisa kualat!”


JWinne mengedipkan mata tak peduli.

Bu Isyah: "Kamu harus melihat masa depan, Nak. Mau kamu hidup susah? Mau kamu hidup miskin?"

"Ibu mau bilang Dias miskin?"

Bu Isyah mendengus. "Nanti kamu akan seperti Ibu, punya anak, punya cucu. Anakmu akan disekolahkan. Kalau dia pintar, pasti sekolahnya akan tinggi, seperti Ajie yang S2"

"Ibu mau bilang Dias cuma lulusan SMP?"
Bu Isyah jengkel. Ia ingin membanting guci saking jengkelnya.

Winne mengerjapkan mata.

Bu Isyah menarik napas. Kali ini mencoba berkata lembut, matanya berkaca-kaca: "Abah dan Ibu ingin melihat kamu dan keluargamu nanti bahagia, dengan cara yang membahagiakan kami juga."

"Mungkin aku, Ibu, Abah akan sama-sama bahagia seandainya poliandri diperbolehkan."

Isyah terkesima. "Poliandri? Apa itu?"

"Aku akan menikah dengan Ajie untuk kebahagiaan Ibu, kemudian aku akan menikah lagi dengan Dias untuk kebahagiaanku."

Praaang...!

Barangkali Winne hanya sekedar bergurau. Tapi akibat gurauannya, guci kesayangan Isyah terhempas ke lantai dan langsung pecah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun