Menurut Direktur Pusesda (Pusat Studi Ekonomi dan Sumber Daya Alam) Ilham Rifki, Undang-undang tersebut dimaksudkan untuk menjadi pengatur  mekanisme pemberian IUP dan subjek yang diperbolehkan menerima IUP. Apalagi jika IUP itu diberikan kepada Ormas yang jaminan keuntungan bagi negaranya tidak jelas. "Maka yang sangat mungkin terjadi kemudian jika jual beli IUP itu melibatkan Ormas, yang terjdi kemudian adalah brokering alias percaloan izin yang itu tak sampai kepada pengusaha.
Ini bertolak belakang dengan spesifikasi dan karakter jenis usaha pertambangan yang bentuknya khusus, butuh modal besar dan bersifat jangka panjang. "Ini meniscayakan mereka yang jadi operator dan pelaku adalah orang yang punya keandalan serta kompetensi khusus," kata dia.
Kehadiran Ormas sebagai pihak yang diduga juga berminat dengan IUP di tengah ketidakjelasan proses pencabutan dan pemulihan tersebut, alih-alih menyelesaikan, yang  ada  justru akan memberikan kekacauan tata kelola pertambangan. Kekacauan itu bisa terjadi pada tingkat administrasi negara maupun pelaksanaannya di lapangan.
Maka daripada berpikir tentang wacana bagi-bagi IUP untuk ormas, Â pemerintah sebaiknya fokus saja kepada tanggung jawab dari tindakan sewenang-wenang dalam pencabutan IUP.
Bentuk langkah kongkrit lain yang bisa dilakukan adalah dengan  optimalisasi fungsi pembinaan dan pengawasan serta memberi kesempatan klarifikasi kepada pengusaha yang IUP-nya kadung dicabut sepihak. Para pengusaha juga harus diberi kesempatan menyatakan komitmen dan kesanggupan menjalankan usahanya. "Jika tidak sanggup, barulah IUP tersebut dapat dikembalikan kepada negara dengan sepengetahuan. Konsensi hasil pengembalian ini yang bisa dilelang untuk diusahakan oleh pelaku usaha baru," ujar Ilham.
Sebelumnya, wacana pembagian IUP yang sudah dicabut disampaikan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Menurut dia, pembagian tersebut perlu dilakukan agar IUP tidak hanya dikuasai segelintir orang.