Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Pelajaran Politik Terbaik Ala Amien Rais

27 September 2013   01:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:20 1297 5
Ada apa dengan Amien Rais?

Pernyataannya di berbagai media dan kesempatan seakan akan selalu saja menyerang Joko Widodo, alias Jokowi. Mulai dari pembangunan argumen yang tidak tepat dalam 'serangannya' terhadap Jokowi, sampai yang bertendensi SARA.  Seakan akan omongan, argumen dan celotehan tersebut keluar bukan dari orang yang dahulunya bahkan berani menentang sebuah Rezim Pemerintahan dengan kata katanya yang keras : Suksesi.

Suksesi terhadap Soeharto, lebih tepatnya.

Dikala kata demokrasi dan kebebasan berpendapat itu hanya sekedar penghias undang undang yang tampak manis, kata "Suksesi" Amien Rais benar benar membuat bergidik. Awalnya dibicarakan dengan sedikit berbisik. Di ruang diskusi yang kecil, dengan ketakutan luar biasa bahwa sepulang diskusi pun nyawa bisa jadi taruhannya. Tapi bisikan itu pun semakin banyak. Kasak kusuk. Obrolan. Menggaung. Pertanyaan yang tadinya tampak tabu untuk dilontarkan pun terucap :

"Mengapa dia ( Soeharto) masih berada disana?"

Saat Amien Rais melakukannya, kritikan yang lugas dan tajam terhadap era kepemimpinan Presiden Soeharto sudah seharusnya berganti, tabu pun terdobrak. Amien Rais, membawa suara rakyat.  Dan semua pun bersuara. Bergerak bersama, sehingga akhirnya terjadi Reformasi. To Reform, tapuk kepemimpinan yang sesungguhnya dari tangan mereka yang terlalu lama duduk diposisi yang nyaman sehingga bahkan anak sekolah pun harus turut menghafal posisi mereka mereka ini , ke tangan yang sebenarnya :  rakyat Indonesia.

Nama Amien Rais pun melambung menjadi sebutan Guru Besar Reformasi. Tetap, maqomnya 'hanya' sebagai Guru saja. Membimbing dan setelahnya melepaskan para muridnya untuk tumbuh sesuai potensinya. Seharusnya, itulah yang terjadi.

Amien Rais pun turut bersaing didalam kancah kepemimpinan RI 1. Hasilnya? Ternyata memang rakyat Indonesia lagi lagi 'hanya' menganggapnya sebagai seorang Guru saja.  Pembimbing. Masih banyak yang enggan untuk merasa nyaman dengan dirinya.

Lima belas tahun kemudian. Popularitas Amien Rais semakin menurun.  Sontak perjalanan, dari seorang Guru Reformasi menjadi t ak jarang yang menjulukinya sebagai pengkhianat Reformasi.  Pengkhianat ?

Bagaimana secara proses, seorang Betara berubah menjadi Sengkuni? Apa yang terjadi selama ini? Kekecewaan akan reformasi yang semakin dipertanyakan nilainya, ataukah sekarang dia malah justru dipersalahkan?

"Iseh enak jamanku,Le?" jadi pemicu yang kuat untuk menertawakan kata Reformasi sendiri. Senyum sang Smiling General yang melambai seakan menjadi kenangan. Antara buruk dan baik.

Kini, Sang Guru Besar yang jadi Sengkuni sedang tampak mengasah pedangnya setiap bertemu seorang yang dianggap satria piningit bagi sebagian rakyat Indonesia. Joko Widodo namanya.  Sibuk menghadang, seakan siap merajamnya apabila bertemu di jalan. Buat saya pribadi, ini hanyalah pelajaran politik saja.

Bermain peran. Kali ini kebagian jatah antagonis.  Ya logis saja, peran apalagi yang bisa dimainkan saat peran Betara  Guru sukses diambil oleh Almarhum Gus Dur. Peran Betara Kala? Diambil secara keroyokan, oleh mereka yang mengambil untung sebesar besarnya dari kata Reformasi sendiri.  Seperti seluruhnya telah ditulis dalam Kitab Jitabsara ala politik saja.

Cercaan, hinaan dan tudingan tudingan miring terhadap Jokowi oleh Amien Rais sebetulnya sudah layak dan pantas menjadi pelajaran politik kita. Tidak ada kata kesempurnaan  didalam politik. Tidak pernah ada.

Flawless Figure itu tidak ada. Siap dan mampukah kita, dalam berdemokrasi dan turut terlibat dalam politik baik pasif maupun aktif untuk mengerti akan hal ini ?

Dalangnya mana? atau siapa, lebih tepatnya...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun