Bukan apa apa. Lonjakan lonjakan di sisi overhead yang tidak terukur memang sangat riskan didalam industri manufakturing skala besar. Perhitungan harga jual barang memang biasanya telah dilakukan dengan berbagai pertimbangan, termasuk adanya risk management didalam perhitungannya.
Apakah tuntutan tuntutan buruh tersebut pada akhirnya akan dipenuhi oleh industri? Di DKI sudah terjadi kan? Dan tidak mungkin juga akan menjadi keterkaitan di provinsi lain seperti Jawa Barat, Jawa Timur dan lokasi lokasi lain yang memang 'sarat' investasi manufakturing kelas besar.
Apa yang terjadi nantinya? Penyesuaian akan dilakukan. Hal yang paling feasible dilakukan oleh industri manufakturing adalah otomasi atau automation manufacturing sebagai pengganti tenaga manusia.
Tentu, para pelaku industri manufakturing tidak akan serta merta dengan gegabah melakukan pengurangan pekerja dalam skala besar secara cepat. Namun akan dilakukan secara bertahap, demikian pula dengan investasi mereka didalam sistem otomasi didalam industri manufakturing.
Dahulu, memang amat sulit bagi satu perusahaan manufakturing untuk memberlakukan justifikasi pembelian atau investasi didalam otomasi manufakturing. Hal ini disebabkan karena kebanyakan mesin dan sarana pendukung otomasi di bidang manufakturing memang sangat mahal. Produsen mesin kebanyakan dari Eropa, dan nilai tukar rupiah sangat tidak menguntungkan untuk investasi tersebut.
Belum lagi, volume versus biaya buruh yang relatif murah. Mudah saja kan, apabila ingin meningkatkan produksi, tinggal menambah jumlah karyawan/buruh yang masih bisa dikontrak per pekerjaan saja. Jadi tidak merupakan karyawan ataupun buruh tetap.
Satu satunya justifikasi pembelian mesin atau pendukung otomasi di bidang manufakturing pada saat itu adalah masalah kualitas. Semakin sedikit interaksi dengan manusia, semakin kecil kemungkinan kesalahan yang mungkin dapat terjadi. Perbaikan kualitas pun meningkat, dan dengan ini justifikasi pun dilakukan.
Namun, sekarang ini persoalan buruh menjadi buah simalakama. Serikat, seringkali tidak masuk akal dalam menyampaikan tuntutannya. Dan sekali lagi, sesuatu 'lonjakan' yang tidak terukur dalam hal mass production atau manufakturing adalah sesuatu yang tidak diinginkan. Semua wajib terukur disana, dan tidak ada 'smart accounting' manapun yang pada akhirnya sanggup mengakali biaya produksi versus nilai jual pasar sebuah produk.
Dan ini membuat pasar manufakturing di Indonesia sudah mulai merasakan bahwa otomasi memang diperlukan. Berapa pun besarnya nilai investasi yang diperlukan, segalanya menjadi lebih terukur. Lebih terkontrol dan lebih mudah perlakuannya.
1 Mesin bisa menggantikan 10 sampai dengan 20 buruh manusia. Hanya butuh 1 atau 2 operator saja. Dan itu pun masih bicara minimal. Produksi semakin terukur, kualitas semakin baik dan efisiensi pun meningkat. Apalagi yang dipikirkan? Robotic yang dulu terlihat mahal menjadi semakin menggiurkan. Alih alih menggunakan tenaga manusia untuk mentransfer barang dari satu ke tempat yang lain, mereka menggunakan conveyor. Full otomasi dari hulu sampai hilir? Dari bahan mentah sampai dengan trucking? Bisa dilakukan. Tak perlu lagi buruh angkut dan yang lainnya. Semua terukur ,pasti dengan tingkat akurasi atau efisiensi yang terjamin.
Otomasi mengeliminasi rasio kesalahan /product defect akibat kesalahan manusia
Sebagai skala perbandingan mentah. Seorang manusia yang bekerja secara terus menerus jelas tidak mungkin dilakukan. Produktifitasnya akan menurun pada satu poin. Dan ini memang manusiawi. Pada mesin justru kebalikan. Semakin lama mesin tersebut berproduksi, hasil yang didapat akan semakin baik dan semakin lancar. Walau pada akhirnya mencapai sebuah titik stagnan, produk yang dihasilkan akan semakin stabil
Lebih memantapkan niat para industri manufakturing untuk melakukan otomasi , kini banyak tersedia mesin mesin dari negeri Panda, China. Dengan harga yang relatif jauh lebih baik daripada apabila melakukan investasi mesin dari Eropa. Memang, saat ini kualitas mesin mesin tersebut masih menjadi pertanyaan dan pada akhirnya keengganan untuk mempergunakan masih cukup besar.
Secara goodwill dan kepercayaan, masih diperlukan waktu untuk dapat mempercayai sebuah industri manufakturing kelas massal dengan investasi mesin dari China. Tapi tidak semuanya, sebagian ada yang memang benar benar qualified, sehingga secara sedikit demi sedikit pun sudah banyak industri yang mengaplikasikan otomasi pendukung manufakturing dari China.
Beri mereka sedikit waktu lagi, dan kualitas pun akan ada disana!
Dari tahun 2008, dan yang terbesar di tahun 2010, sudah terlihat lonjakan pembelian atau investasi mesin dan otomasi pendukung manufakturing skala besar yang dilakukan oleh para pelaku industri di Indonesia. Kebanyakan dari mereka adalah industri FMCG, Otomotif, Pharmaceutical dan yang lain.
Dan pada akhirnya, seperti di filem sci fi "Terminator" yang dahulu sempat populer, akan terjadi peperangan atau perebutan periuk nasi antara tenaga kerja di Indonesia, dan para 'terminator' atau robot dan otomasi di sentra manufakturing.
Sayangnya, ini bukan fiksi. Dan lajunya memang sepertinya sudah tidak terhentikan.