Mohon tunggu...
KOMENTAR
Vox Pop

Densus 88 Versus Teroris dan HAM

9 September 2012   05:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:43 640 7
Serba salah dan siap salah.

Itulah salah satu resiko  Satuan Anti Teror Detasemen Khusus 88.  Tak jarang, dalam penyelesaian sebuah kasus aksi terorisme yang bibitnya masih banyak di tengah masyarakat di Indonesia ini, aksi 'berlebihan' mereka saat melakukan penyergapan kerap mengundang cacian dari masyarakat.  Tidak sopan, biadab dan yang jelas, melanggar hak asasi manusia atau HAM.

Seorang tua yang sedang sholat ditendang dan digebuki sampai rompal giginya.  Setelah interogasi mendalam, ternyata tidak diketemukan adanya keterkaitan dengan aksi atau faham terorisme yang dicurigainya. Jelas, setelah tidak terbukti bersalah, Densus 88 pun menjadi bersalah. Orang sedang sholat kok ditendang. Kesan yang ditimbulkan, Densus 88 adalah pembenci Islam. Padahal, apakah masyarakat benar benar tahu bahwa mereka pun mengawali sebuah tugas dengan do'anya? Merekapun mengawal para Islam yang menginginkan damai di bumi Nusantara ini tetap dapat melakukan ibadah dengan baik?  Supaya masyarakat tetap bisa merasa aman dalam melaksanakan ibadah kesehariannya.

Lantas bagaimana apabila yang terjadi sebaliknya? Saat si orang tua tersebut ternyata memang bagian dari aksi terorisme? Masyarakat akan menilai, bahwa Densus 88 sudah bertindak dengan tepat.  Mereka adalah pahlawan, berhasil mengungkap sebuah kasus atau bibit terorisme ditengah masyarakat.

Banyak yang tidak mengerti, bagaimana sulitnya satuan Densus 88 melakukan tugasnya. Hal ini tentu berkaitan dengan HAM atau Hak Asasi Manusia.  Bahwa mereka yang masuk dalam pantauan mereka  dan diindikasikan atau sudah terindikasikan sebagai bagian dari jaringan aksi terorisme tidak serta merta atau dengan mudah bisa dituntaskan tanpa adanya sebuah aksi terlebih dahulu dari jaringan tersebut. Seringkali, karena hal ini menjadikan mereka dianggap tidak becus dalam bekerja. Intelejen tidak bekerja dengan baik.  Penulis disini malah berasumsi bahwa ada sedikit 'gangguan' didalam intelejen di tubuh RI.

Banyaknya informasi dari 'atas' yang misleading atau salah mengarahkan bukan merupakan sebuah indikasi ketidak becusan BIN dalam mengetahui sebuah aksi sebelum dilakukan. Sedikit berbahaya, sebetulnya. Karena BIN memang riskan untuk penyusupan, sehingga informasi yang misleading ini memang sengaja dilakukan oleh para penyusup ini.

Kembali ke Densus 88 dan HAM. Cara penanganan yang simpatik, sopan dan sesuai koridor ,etika dan hukum memang inilah yang ideal. Namun sulit penerapannya untuk para satuan khusus anti teror Densus 88 sendiri.  Mereka adalah satuan terlatih, yang terbiasa berhadapan dengan para psikopat teroris dengan faham atau ideologi apapun.

Para psikopat teror ini siap mati. Demi membela ideologi atau faham 'salah' yang mereka terapkan. Merekapun terlatih dengan baik. Baik pembekalan secara militer, pengetahuan umum dan yang lainnya.  Penyusupan yang mereka lakukan ditengah masyarakat pun dilakukan dengan sangat baik, sehingga sulit untuk mengenali mereka ditengah masyarakat yang tampak 'damai' ini.  Dan inilah yang dihadapi Densus 88 disini. Tentu, dengan cara sopan bertanya "Maaf, apakah anda seorang teroris? Apakah kebetulan di dada anda terikat rangkaian C-4 yang siap diledakkan? " tidak akan mumpuni untuk para Densus 88 ini menyelesaikan tugasnya.

Bisa anda bayangkan? Seorang anggota Densus 88 dengan senyum yang ramah memberikan formulir berisikan deretan pertanyaan yang dapat memberikan pengakuan 'ya atau tidaknya' seseorang yang menjadi tersangka itu resmi dikatakan bahwa dia adalah seorang teroris? Apabila bisa, dan menurut anda itu yang harus dilakukan mereka, berarti mungkin justru anda yang sedang berkhayal tentang sebuah tatanan di dunia yang terlalu indah.

Sudah saatnya membawa anda kembali ke bumi, dan menghadapi masalah nyata yang ada. Dengan penanganan yang nyata juga.   Cara penanganan yang mungkin akan sulit diterima oleh akal dan nurani sehat kita sebagai tatanan masyarakat yang awam.

Melanggar etika, norma dan tentunya, hak asasi manusia.

Dan kesalahan kesalahan dan cacian inilah yang siap diterima oleh para anggota Densus 88 ini dalam pengabdiannya mengamankan negara.

Pendanaan pembentukan mereka yang didapat dari Australia juga menjadi satu penyebab tidak diterimanya Densus 88 ditengah masyarakat.  Kepentingan asing diutamakan itu juga yang digaungkan. Padahal, rasa nasionalisme para anggota Densus 88 dengan pengabdiannya menjadi sesuatu yang sebenarnya tidak patut dipertanyakan. Tetapi, lagi lagi, karena kita adalah bagian dari masyarakat yang awam, sehingga kitapun mutlak wajib mempertanyakannya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun