Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Minoritas Memang Tidak Mau Ada Kerukunan

11 Agustus 2012   12:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:56 327 10
Minoritas dan Mayoritas.

Jumlah yang tidak akan pernah selalu sama. Tergantung tempat, ruang dan waktu. Tidak pernah pasti.   Dan kali ini dengan konteks manusia.

Seseorang yang 'merasa' menjadi mayoritas, pada suatu titik di hidupnya pasti pernah menjadi minoritas. Entah itu cukup sering atau jarangkali. Pasti pernah.  Sebaliknya, seseorang yang merasa menjadi minoritas di satu waktu akan pernah menjadi bagian dari mayoritas. Jelas jelas pernah.

Untuk ukuran masalah keyakinan, menjadi rancu apabila menghitung jumlah hanya berdasar 'berapa pemeluknya'. Sebuah hitungan kasar yang tidak akan pernah ada habisnya, disaat satu dan pihak yang lain selalu menuntut sesuatu yang seharusnya diupayakan bersama : Mutual Respect atau Saling Menghormati.

Bukan dengan sikap yang didahului dengan sifat superior. Kami lebih banyak, anda harus nurut kami.  Itu tidak benar. Hanya seorang yang pengecutlah yang punya jiwa berani karena menang jumlah ini. Sebaliknya, bukan juga dengan sifat merengek rengek minta diperhatikan karena merasa selalu terdzolimi atau diintimidasi. Hanya seseorang yang lemah yang punya jiwa menuntut karena kalah arang ini.

Rasa saling menghormati sudah semestinya timbul apa adanya. Terkadang,  di tatanan masyarakat yang kian kompleks ini perlu waktu dan pembuktian apakah memang kita benar benar layak untuk dihormati. Menghormati karena rasa segan yang timbul dari hati. Bukan sekedar menghormati yang basa basi. Sehingga untuk menjadi seseorang yang dihormati pun jelas. Karena pribadi tersebut bukan orang yang gila hormat.

Semestinya dan tampaknya memang sudah saatnya punya gerbong yang sama.  Bukan hanya 'gerbong' yang harus diikuti dengan landasan basa basi. Gerbong itu terbukti sangat goyah dan mudah terguling.

Gerbong yang ini harus kuat. Landasannya tidak ada kepura puraan. Bukan peer pressure atau hal yang lain. Sebuah gerbong kerukunan.  Tak usah jauh jauh ngomong gerbong kebangsaan dulu deh.  Situasi bangsa pun saat ini sangat rapuh. Di permudah dulu, dengan gerbong kerukunan.

Di gerbong kerukunan ini, siapapun yang naik didalamnya tidak harus sama. Tidak musti menjadi sama, dan tidak harus disama sama kan. Sekedar ingin rukun saja, sekedar ingin benar benar tulus saling menghormati.  Mau berlatar belakang apapun, suku apapun, agama apapun, ras apapun, warna kulit apapun, apabila memang menginginkan sebuah kerukunan yang tidak semu, siapapun boleh naik.

Dan mereka inilah yang menjadi penumpang mayoritas di gerbong kerukunan ini.  Semudah itu, dan tidak perlu dipersulit dengan teori teori apapun. Karena sejatinya semua yang ingin berada di gerbong kerukunan ini, pasti sudah cukup punya nyali, bekal dan pengetahuan yang dalam yang dibawa oleh masing masing individunya.

Ada penumpang mayoritas, tentu ada yang minoritas. Siapa yang minoritas di gerbong kerukunan ini? Seseorang yang tidak memandang apa suku, agama, ras, warna kulit dan yang lainnya yang sejatinya memang tidak ingin adanya kerukunan. Apapun dalihnya, mereka memang tidak suka untuk rukun.  Apapun akan diupayakan supaya gerbong kerukunan ini akan terguling. Dan mereka pun hidup ditengah mayoritas.

Ada yang terang terangan, ada yang alus, ada yang kasar. Ada yang tampak seperti mayoritas, padahal sejatinya mereka punya mental minoritas.

Gerbong kerukunan sudah berjalan. Sikap masing masing pribadi yang akan menentukan : apakah termasuk mayoritas di gerbong ini, atau minoritas yang memang tidak mau ada kerukunan?

Lihat sendiri di tiket masing masing. Yang mayoritas pasti punya tiket. Yang minoritas adalah penumpang gelap. Siap siap saja diturunkan, apabila memang terbukti tidak punya tiket.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun