Pencalonan, atau lebih tepatnya bersedianya Jokowi untuk dicalonkan dalam Pemilihan Presiden 2014 yang akan datang ini menimbulkan banyak pertanyaan ( questions) dan pernyataan ( statement).
Sebagian bilang, Jokowi belum saatnya nyalon. Masih banyak pekerjaan rumahnya yang belum selesai dengan kapasitasnya sebagai seorang Gubernur DKI. Belum selesai kok udah 'loncat' mau mengerjakan yang lain lagi. Secara gamblang dan jujur, ya itulah yang memang dilakukan oleh seorang Jokowi. Dengan berat meninggalkan tanggung jawabnya sekarang ini mengatur satu daerah bernama DKI untuk sebuah kemungkinan lebih besar mengatur sebuah negara bernama Indonesia.
Kita masih bisa pro, ataupun kontra terhadap pilihan politik tersebut. Saya pribadi melihat DKI Jakarta bukan 'hanya' semata ujian bagi seorang Jokowi, namun permintaan Jokowi untuk sudi mencalonkan diri sebagai Presiden memang nyatanya datang dari rakyat. Yang selama ini sudah geram dan gemas melihat bagaimana njlimetnya birokrat di Indonesia, dan tiba tiba datang seorang sosok yang merakyat dan bersama Ahok memutus rantai "tidak menyenangkan" bernama aturan aturan yang dibuat buat itu di Jakarta.
Kadang, sebagian orang menyangsikan kemampuan seorang yang 'tampak lugu' saat mengenakan jas yang sedikit kedodoran ini. Saat para musuh musuh politiknya mencacinya dengan berbagai kata dan akusisi, dia hanya duduk nongkrong di sebuah angkringan dengan latar belakang lagu dangdut yang ironisnya dinyanyikan oleh sang pengecamnya, seorang "Proffesor" yang bahkan tidak berani mencopot kacamata hitamnya dalam sebuah wawancara dengan seorang wanita cantik dan smart didepan publik Indonesia.
Jokowi hanya tersenyum, dan tidak membalas. Hanya sekedar 'mengingatkan' saja kepada para pengecamnya, melalui sebuah jalur yang njawani atau sarat filosofis jawa-nya.
" Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake "
Dia kaya, tanpa harus merasa memiliki apa apa. Gak perlu pamer , cukup nongkrong di angkringan saja. Berkuasa, tanpa harus merasa mulia namun lebih merasa sebagai seorang pelayan untuk rakyat. Memasuki sebuah "pertempuran politik" tanpa bala, karena tau pasti bahwa partai yang didiaminya sekarang pun sebetulnya bukan sebuah pilihan rakyat pada umumnya. Dan kenyataannya, sebagaimana banyak orang ingin sekali mempersangkutkan dirinya dengan partai yang dinaunginya, kita hanya bisa melihat sosok bernama Jokowi.
Yang tak jarang malah sulit untuk diasosiasikan dengan "kebesaran Partainya".
Menang tanpa ngasorake ? Jokowi yang tak pernah membantah, berbalas sengit kepada para rival politik maupun kritikusnya. Sekedar menanggapi dengan santai. Dikatakan tidak pantas, diapun hanya mengiyakan saja. Tidak lantas adu heboh perang twit seperti para selebritas politik yang lainnya. Bukan Jokowi apabila bisa menjatuhkan seseorang dan tertawa diatasnya.
Kota Solo ditinggalkan oleh Jokowi menjadi tertata pada awalnya namun jadi sedikit semrawut kemudian hari. Ini bukan sebuah contoh baik mengenai sebuah sistem yang berjalan. Melainkan memang dibutuhkan seorang pemimpin yang baik yang mampu konsisten untuk melakukan suatu sistem dan penerapan yang baik. Gonjang ganjing seputar keraton pun turut menambah sedikit kerumitan disana.
Apakah berarti Jokowi harus kembali ke Kota Surakarta lagi, untuk kembali melakukan pembenahan?
Daerah Khusus Ibukota. Yang dengan segala kesemrawutannya, ketidak aturannya dan segala bisnis kotor didalamnya pun diterimanya. Bersama dengan Ahok, satu persatu kembali diurai. Bukan sebuah pekerjaan instant untuk membenahi Jakarta sekitarnya, dan juga jutaan warganya, sebagian besar tak mau diatur sementara yang lain benar benar menginginkan perubahan. Sedikit, demi sedikit upaya pembenahan di lakukan. Tak jarang, terbentur pada sebuah birokrasi lebih tinggi bernama Dalam Negeri.
Apa yang harus dilakukannya? Tetap berada disana dengan keterbatasan dari birokrasi yang lebih tinggi atau menuju sebuah pucuk kepemimpinan yang lebih tinggi guna membenahi rumitnya birokrasi di tingkat yang lebih tinggi?