Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Kampanye 'Sehat', Bisakah? Belajar dari Sukimin, Sarimin dan Minisme

16 April 2014   16:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:36 57 3
Suhu politik yang memanas akhir akhir ini memang bikin pusing kepala.

Pusing bagi yang tidak terlalu dalam berpolitik, dan panas bagi mereka yang menjagokan calonnya masing masing.   Segala penjuru tak lepas dari 'kampanye' baik parpol maupun calon. Mulai dari pohon pohon tak berdosa, televisi, radio, media sosial , bahkan merambah ke obrolan model warung kopi kaki jegang sak penak penake.

Sembari menyeruput kopi panas di warung, obrolan terkini tentang situasi politik pun sekarang ini lazim terdengar. Semua menjadi pengamat politik. Lengkap dengan analisa masing masing. Wajar sih, setting Pesta Demokrasi Rakyat kali ini seakan membawa seorang sosok tokoh yang konon dari rakyat sendiri. Lengkap dengan pro dan kontranya tentu.

Segala kelebihan dan juga tentu kekurangan. Nobody's perfect tampaknya tak berlaku untuk para die hard fans pendukung salah satu parpol atau calon. Sehingga tak jarang obrolan pun menjadi memanas. Hal yang seharusnya bisa dihindari apabila masing masing sanggup menghormati pilihan dan hak masing masing orang untuk memilih siapa calon dan pandangan politik mereka.

Yang justru menjadi 'menyebalkan' adalah kampanye baik terselubung maupun tidak , yang menyangkut pemberitaan tokoh atau pandangan politik seseorang.  Terutama apabila hal tersebut dilakukan secara terus menerus, tanpa jeda.   Memang betul, bahwa 'memasarkan' seorang calon atau pandangan politik memang butuh usaha secara terus menerus ( continuous effort ).  Hal yang diperlukan untuk terus menerus memberikan kesan positif terhadap seorang calon atau pandangan politik dan program mereka.

Targetnya adalah agar supaya pada saat seseorang berada didalam bilik suara, yang ada di benak kepala mereka hanya satu nama yang terus menerus terngiang ngiang di kepala. Sukimin, sukimin, sukimin, misalnya. Seperti mantra yang terpatri pada akhirnya. Dari tidak mengenal, menjadi sangat kenal atau bahkan mungkin masih tidak kenal tetapi ingat nama.

Apalagi diasosiasikan dengan sesuatu yang dikenal dengan baik. Sukimin Pergi ke Pasar, misalnya. Imej Sang Sukimin yang sedang menuju atau sedang berbelanja di pasar menjadi terbawa di bawah sadar.  Imej 'pasar' yang mungkin mewakili diri yang senang berbelanja di sana, keriuhan orang atau pun bahkan mungkin satu inspirasi untuk melakukan suatu hal yang belum pernah dan ingin dilakukan ( seperti pergi atau belanja di pasar)  menjadi sebuah penggerak.

Trigger untuk nantinya memilih Sang Sukimin, yang hendak atau sedang  dan bahkan senang pergi kepasar tadi.

Dan apabila ini yang terjadi,  maka mulai dari satu individu, rasa positif ala Sukimin pergi ke pasar tadi melalui tahap pemasaran berikutnya : secara getok tular atau dari mulut ke mulut. Semua membicarakan Sukimin yang hebat karena pergi kepasar. Padahal sebetulnya mungkin itu adalah suatu pekerjaan yang biasa saja. Tapi imej yang telah dibangun tentang 'pergi ke pasar' sendiri terasa istimewa seperti nasi goreng ekstra pedas karet dua pake' telor ceplok.

Dengan takaran yang secukupnya, efek WOW dari Sukimin pergi ke pasar tadi bisa tercapai.

Lantas, apa yang terjadi apabila Sukimin pergi ke Pasar tadi selalu dan melulu diangkat menjadi sebuah tema diskusi atau pembicaraan? Atau bahkan terus menerus 'digelontorkan' ke benak pikiran massa ?  Pemasaran seorang calon atau pandangan politik BUKAN seperti jualan produk. Dia bukan kecap, walaupun sama sama tetap ( harus, dan di klaim sebagai ) nomer satu. Ada perlakuan atau treatment yang harus dibedakan dengan sebuah produk.

Dan kegagalan seorang pemasar atau tim kampanye seorang tokoh adalah pada saat mereka sendiri gagal mengetahui dengan pasti produknya, dalam hal ini sang calon atau pandangan politiknya. Tarik ulur seperti halnya main layangan tidak dilakukan disini.  Terus dan melulu, Sukimin pergi ke Pasar terus menerus dipasarkan setiap saat.

Yang terjadi nantinya bukanlah sebuah efek positif lagi. Tetapi kejenuhan para penerima 'iklan' tersebut. Dan bujet kampanye yang tidak sedikit ini menjadi tidak tepat guna, karena pada akhirnya mereka yang diharapkan sebagai target pasar dari produk calon atau pandangan politik ini kemudian mengganti channel di televisi atau bahkan mata dan benak mereka pada saat menemukan imej Sukimin tadi.

Atau bahkan Sukimin pergi ke Pasar, lebih jauhnya.  Sukimin, pergi, sedang, lagi, senang, ke Pasar tadi bukan lagi sesuatu hal yang menyenangkan. Menjadi datar, biasa biasa saja.

Bukan lagi "Wow, hebat tenan .  Sukimin pergi ke pasar , ya? " melainkan  :  " Sukimin pergi ke pasar?? So What?! Si Sarimin juga pergi ke pasar kok. Nothin' special !"  Negatif, penerimaannya.

Seorang individu seperti calon, atau sebuah pandangan politik pada akhirnya memang sama saja dengan sebungkus kacang goreng. Mereka, atau itu adalah produk yang dipasarkan. Tetapi cara 'mengemas' dan memasarkannya tentu super berbeda.

Belum lagi apabila kemudian bahkan iklan Sarimin kemudian menjelek jelekkan Sukimin. Waduh ! Respek yang mungkin tadinya (masih ) ada ataupun ketertarikan terhadap Sarimin bisa jadi secara perlahan menghilang dan bahkan berubah menjadi dukungan terhadap Sukimin.   Padahal tadinya mungkin Sang Sarimin yang Naik Kuda ini terlihat super keren dan gagah. Tapi jadi kurang baik karena Sarimin naik Kuda trus ndepak Sukimin. Ini bukan cara yang baik untuk memasarkan sebuah produk.

Budaya timur di Indonesia dan juga stereotype kultural yang sayangnya masih terbentuk  (terima kasih) kepada sinetron sinetron kacangan yang beredar di banyak televisi adalah mereka akan cenderung tidak menyukai peran yang dhalim. Si kaya dan si miskin. Yang teraniaya menimbulkan empati.  Dan sebetulnya memang emotional buying lah yang lebih berperan nanti di bilik suara. Secara kebanyakan.

Bukan sebuah pemikiran logis pada akhirnya.

Jadi saat sebuah entitas pemasar baik dari Sarimin maupun Sukimin terus menerus melakukan "kampanye hitam" terhadap calon atau pandangan yang berseberangan, banyak massa yang tadinya mungkin simpati justru akan menjadi berbalik kelak nanti bila saatnya tiba.

Orang wegah memilih seseorang yang tukang ngrasani. Yang suka berkata buruk kepada pihak lainnya. Jadi apabila didalam benak para pemasar ini berpikir " Wajar, Bung, ini politik !" maka saya yakin berjuta juta pemilih yang sudah semakin pintar ini akan menarik nafas panjang dan berucap dalam hati, " Bukan cara ini yang saya sukai, dan bukan calon atau pandangan politik andalah yang mendapatkan simpati, hati atau suara saya nantinya "

Dan juga bagi para pemasar, ataupun para simpatisan yang kadung gandrung kepada baik Sukimin maupun Sarimin ataupun min min yang lainnya, tahanlah sedikit 'nafsu menggelora' anda sekalian.  Karena terkadang yang semakin terlihat bukan sebuah dukungan atas Sukimin atau Sarimin yang terlihat disana, melainkan ego pribadi masing masing yang sejatinya memanfaatkan pemasaran Para Min dan Minisme -nya ini untuk sesuatu yang lebih simpel terlihat :

Aktualisasi diri pribadi.  Sebuah penyakit akut 'butuh dikenali' dalam bermasyarakat ini seperti halnya para caleg gagal yang sekarang ini banyak menginap di pondok pesatren maupun Rumah Sakit Jiwa karena tidak mendapatkan pengakuan seperti yang diharapkan.

Masih tiga bulan kurang sedikit lagi. Pertahankan efek Wow. Bukan sebaliknya.

*Disclaimer :

Baik Sukimin, Sakimin maupun Min min yang lainnya hanya tokoh rekaan atau fiktif belaka. Apabila ada persamaan peristiwa seperti pergi ke pasar atau menunggang kuda  ataupun yang lain semua hanya kebetulan belaka. Minisme bukan istilah dan mohon jangan dibuat stiker keren I Love Min dan lain sebagainya

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun