Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Dolly: Antara Realita, Fiksi, dan Stigma

18 Juni 2014   21:53 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:13 138 3
Tampaknya Tante Dolly tidak akan pernah merasa habis pikir dari dalam liang kuburnya.

Berbekal teknik dan pengertian akan permintaan spesifik manusia, khususnya lelaki, dia memulai bisnis yang  konon usianya sama tuanya dengan dunia ini. Prostitusi, bisnis lendir, kenikmatan sesaat.

Apapun dan bagaimanapun cara memandangnya, transaksi tersebut berujung pada satu hal : uang.

Hari ini, 18 Juni 2014 kawasan prostitusi yang menampung kurang lebih 1.080 pekerja seks komersial , 300 mucikari dan masih ratusan lainnya yang menggantungkan nasibnya pada usaha yang dirintis oleh Tante Dolly ini resmi ditutup.  Adalah Ibu Risma, Walikota Surabaya yang dulu lebih dikenal dengan Kota Pahlawan lah yang berani melakukan perubahan ini. Bukan para jagoan yang mengaku sebagai lelaki. Namun seorang Ibu. Sisi kontroversial, penentangan  intimidasi dan lain hal pun turut menjadi bagian dari satu catatan yang layak masuk sebagai prestasi dalam sejarah ini.

Banyak pihak yang menyayangkan.

Dengan pendapat bahwa adalah tepat untuk tetap melokalisasikan para pekerja seks komersial ini sehingga mereka pada akhirnya tidak justru berkeliaran kemana mana dan menimbulkan kerusakan yang lebih parah lagi. Lokalisasi adalah suatu kontrol sosial yang baik, akan adanya demand dan pasar.  Sesuatu yang 'terlihat sebagai pendapat yang benar' namun malah yang timbul adalah salah kaprah berbentuk stigma.

Kota Surabaya tak lagi perlu Dolly. Itu kenyataan 'pahit' sebenarnya. Layanan 'antar kamar' prostitusi sebetulnya marak terjadi dimana mana. Memanfaatkan kamar kos, promosi dari mulut ke mulut dari para bell boy hotel , jalanan , dan tempat hiburan malam. Mulai dari losmen kelas teri sampai dengan sebuah hotel bintang lima di bilangan Jalan MayJend Sungkono pun secara 'tak resmi' melakukannya.

Di hotel kelas teri, para pekerja seks komersial ini akan menjajakan langsung, atau lewat pihak perantara. Di jalanan seputar Tunjungan ?Secara langsung dan juga memanfaatkan jasa tukang ojek sebagai penunjang mobilitas. Klub dan hiburan malam ?Para pekerja disana pun yang mempromosikan diri mereka. Hotel hotel kelas menengah?Mereka punya ujung tombak bernama security ataupun bell boy.

Atau bagi yang sedikit mentereng, dapat menghubungi para concierge hotel sendiri. Tak jarang bahkan beberapa mucikari pun secara aktif turut menawarkan disana kepada para tamu hotel.  Dan hei, tak hanya wanita yang dijajakan oleh mereka, namun juga pria 'muda muda ,ramah dan tampan'.  Setidaknya minimal pengalaman itulah yang pernah didapat oleh penulis.

Seorang mucikari berusaha menawarkan gadis gadis yang berada 'dibawah' mereka. Saat penolakan secara halus dilakukan oleh penulis ? Tawaran untuk pria muda pun dilakukan.  Melihat dari cara menawarkan dan bahasa tubuh secara yakin  dan persistensi yang dilakukan oleh mucikari tersebut, saya yakin bahwa 'penawaran' tersebut bukan pertama kali dilakukannya. Dan cara menawarkan satu 'komoditas' dan beralih yang ke lainnya tanpa rasa sungkan atau bahkan tabu seperti halnya umumnya manusia timur hanya menjatuhkan pada satu kesimpulan :

Bahwa pasar memang ada di sana. Apapun preferensi anda. Apapun imainasi terliar seseorang.

Sebuah hotel bintang lima yang terletak di MayJend Sungkono pun mempunyai cara tersendiri.  Sebuah klab hingar bingar di lantai dasar hotel tersebut menjadi tempat dan fasilitas transaksi. Sekedar tempat minum sebetulnya, namun apa artinya hiburan, minuman keras tanpa wanita? Mengambil segmentasi para pengunjung mancanegara.  Mereka tidak akan mengincar para lokal yang berada disana.

Karena tau dengan pasti, hanya para 'bule' lah yang gemar dengan 'spesifikasi' mereka.  Beberapa kali berkunjung disana pun pada akhirnya mengenal beberapa dari mereka dengan cukup baik. Tak ada tempat bagi saya pribadi untuk menghakimi atau ceramah agama, baik pada para penyedia atau pemakai jasa mereka.  Dengan keakraban dan penolakan penolakan halus ini pada akhirnya terjadi sesuatu yang dinamakan pertemanan.  Satu dari mereka bahkan pernah bertanya secara blak blakan ,

"Mas, menurut mas itu kami yang disini gak ada yang cantik dan tentu bukan seleranya Mas ya? " - Pertanyaan yang lugas meminta jawaban yang tegas juga. Tanpa upaya sok alim atau coba coba menggurui.

Itu, adalah realita realita kota Surabaya sendiri.

Seringkali kita terjebak dalam sebuah kisah romantisme pergulatan seorang wanita berusaha memberikan nafkah pada keluarganya. Aktual sih, tapi cerita tersebut jadi basi saat melihat seorang nenek nenek masih menjajakan koran di perempatan jalan.  Atau terpaksa melakukan hal tersebut karena 'tuntutan hidup'. Terpaksa melakukannya untuk mencari sesuap nasi.

Coba sekali sekali berkunjung  ke sebuah gang sempit yang berada di jalan Tunjungan. Sebuah rumah bordil yang sudah lama berada di sana seakan akan mengatakan sesuatu yang sebaliknya. Jejeran mobil mobil mewah, hampir separuhnya adalah jenis city car lansiran terbaru atau bahkan mobil eropa terkini adalah milik para pekerja seks komersial ini. Nasib mereka memang 'sedikit' lebih beruntung daripada mereka yang berada di Dolly, yang masih memainkan gadget made in China mereka . Tapi ada satu hal  sama yang dilakukan mereka.

Menunggu di sebuah sofa sudut bagi pasar untuk menggaet mereka.

Fiksi Realita lagi :Putus cinta dengan sang pujaan hati, membalas dendam kepada para lelaki. Sekaligus meraup pundi pundi dari sana.   Realita : dijanjikan pekerjaan sebagai seorang waitress, malah berujung dengan utang yang terus membengkak kepada para  jaringan perdagangan wanita. Yang pada akhirnya mengharuskan mereka untuk terus menghasilkan uang bagi mereka.

Fiksi bercampur realita yang lain ? Terpaksa melakukannya untuk membayar uang kuliah. Memasang iklan baris atau melalui grup media sosial menjajakan diri dengan nama panggilan, sebut saja Bunga, untuk melakukannya. Realita ?Kuliah dijalani ataupun terhenti, pada akhirnya mencari exit route dengan menjadi seorang simpanan Daukee tajir untuk membiayai hidupnya yang tidak sederhana. Sebuah kontrakan di apartemen City of Tomorrow, seputar Pakuwon menjadi tempatnya menunggu.

Stigma ? Bahwa (lagi lagi) lokalisasi diperlukan untuk terus ada bagi mereka. Alasan penghidupan dan hajat hidup orang banyak yang menjadi sesuatu yang tampak ideal dipermukaan. Uang? Jelas. Namun yang tak tampak dipermukaan adalah alam bawah sadar kita yang mengatakan bahwa mereka sudah semestinya disingkirkan dari mata kita dalam bentuk lokalisasi. Mereka patut berada disana, supaya suami suami kita aman dari jangkauan mereka. Enyahkan mereka dari mata kita yang mengganggu.

Dan lebih parah lagi adalah stigma bahwa mereka tak bisa berbuat apa apa kecuali memanfaatkan kemolekan tubuhnya, atau bahkan mau berubah apabila ada jalan yang lebih baik, sehingga lokalisasi itu tetap harus ada.

Fakta :Jemput bola bisnis prostitusi telah dilakukan. Uang akan terus menjadi sebuah masalah, karena sifat manusia yang tidak pernah (merasa) berkecukupan. Perubahan terkadang harus dilakukan dengan jalan keluar dari titik nyaman.

Dan tak ada manusia yang tak punya salah.  Jadi sudahi stigma, fiksi mengharukan tentang kupu kupu malam ataupun hal lainnya. Kompromi antara kata salah dan benar, tetap dalam satu koridor yang positif, bukan membiarkan.

Dolly ditutup. Period, bottom line.  Masih banyak masalah sosial lain yang harus segera dibenahi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun