Yang menjadi refleksi kita adalah apakah salah jika kaum miskin di bantu dan di perhatikan oleh negara ? mungkin jawabannya simple tidak salah, itu adalah kewajiban negara untuk rakyatnya. Yang didambakan oleh masyarakat yang berekonomi lemah adalah bagaimana negara hadir di setiap saat, bukan pada saat pilkada ataupun pemilihan umum untuk meraih empati rakyat dalam pencitraan yang semu. Masyarakat indonesia sudah paham langkah para politisi dalam mendapatkan sedekah empati rakyat.
Saat ini kita di suguhkan kenyataan akan rencana kenaikan bahan bakar, bahkan politisi senayan ramai-ramai menyetujui hal tersebut. Namun, yang masih mengganjal adalah subsidi bahan bakar tersebut bagaimana cara mengalokasikan untuk rakyat yang benar-benar membutuhkan. Opsinya ada bantuan langsung tunai, beras miskin, Beasiswa dll. Pertanyaan kita adalah seberapa akuratkah data mengenai rakyat miskin yang di miliki oleh pemerintah, apakah benar jatah masyarakat miskin sungguh di nikmati oleh mereka yang miskin, ataukah pula banyak masyarakat mampu yang tiba-tiba jatuh melarat ketika bantuan itu cair ? semua biar waktu dan sejarah yang menjawab.
Janganlah kita membeli suara rakyat dengan bantuan langsung tunai yang sifatnya sementara, yang pada akhirnya setelah bantuan itu selesai ia kembali miskin. Jauh lebih bermanfaat jika sebuah kebijakan memiliki manfaat jangka pendek, menengah dan panjang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang menjadi dewa selama ini, tidak akan bermanfaat jika fakta di lapangan masih banyak masyarakat berkabung dalam kemiskinan serta masih derasnya warga indonesia mengais rejeki menjadi TKI