Mendiang Kakek dipanggil dengan sebutan Guru. Tapi ia tidak pernah mengajar  di sekolah. Saya dibuat heran dengan sebutan orang-orang kepadanya.
Sejak berusia sepantaran anak SD kelas satu, saya jadi bertanya-tanya. Mengapa kakek dipanggil guru tapi ia tidak pernah ke sekolah. Tidak pernah masuk kelas dan berdiri di depan anak didik. Saya dan cucunya yang lain pun tidak pernah memanggil kakek dengan sebutan guru.
Tahun berganti. Rasa penasaran saya belum terobati. Yang saya tahu, kakek adalah seorang imam masjid di kampungnya. Ia juga selalu dipanggil oleh masyarakat ketika ada acara syukuran. Ia memimpin doa. Selalu duduk di bagian paling depan.
Jika ada orang meninggal, kakek menjadi orang yang sangat sibuk. Ia dijemput ke rumah duka. Tugasnya: memandikan jenazah. Pulang ke rumah tangannya tak kosong. Tuan rumah membekalinya dengan sebuah tas. Biasanya juga diberi kasur atau tikar rajut dari daun lontar.
Tak jarang, kakek diberi pakaian. Kadang diberi setelan jas. Atau lebih seringnya songkok hitam. Saya sering kebagian ini. Pernah juga kebagian jas, meski sedikit tenggelam di badan saat itu. Atau dapat jatah lembaran rupiah dari kakek kalau pulang dari acara begitu.
Ketika bulan maulid Nabi tiba, kakek juga super sibuk. Ia kerap didatangi orang-orang kampung. Bahkan ada yang datang dari kampung sebelah. Mereka membawa semacam miniatur rumah. Berisi telur, beras atau nasi, ikan, dan penganan lainnya.
Di saat-saat seperti itulah yang saya rindukan. Saya bebas makan telur dalam jumlah yang banyak. Meski hanya sisa setelah dibagikan ke warga terlebih dahulu.
Kakek juga selalu menjadi bagian penting saat ada acara penamatan ngaji calon pengantin. Di kampung kami, yang merupakan suku Makassar, acara "appatamma" ini selalu diiringi dengan kegiatan "A'rate', semacam acara barsanji. Memang namanya barsanji.
Ketika masih remaja, saya sering ikut acara begini. Bisa makan gratis. Makan ayam goreng. Atau makan daging sapi.
Kakek dipanggil guru dan selalu dipanggil saat ada acara sakral di kampung. Pada usia belasan tahun, saya baru mengerti. Kakek diberi amanah sebagai seorang imam dusun.
Pekerjaannya melayani warga kampung. Mulai dari mengurus masjid, menjadi imam masjid, memandikan jenazah, menikahkan warga, pengumpul zakat, dan banyak lagi.
Kakek juga lihai menyembelih hewan. Ayam, kambing, sapi, dan kerbau dilumat menggunakan parang tajam andalan. Biasanya juga pakai badik. Nah, kalau ini adalah barang bawaan wajib yang melingkar di pinggangnya.
Katanya, dalam menyembelih hewan itu ada aturannya. Supaya tidak berbau amis. Kakek juga selalu sibuk saat ada acara pernikahan. Biasanya dipanggil untuk memotong sapi. Bagiannya tentu saja kepala. Itu bagian khusus untuk guru, katanya.
Oh iya, kakek juga sering dipanggil untuk mendoakan orang yang baru saja membeli kendaraan baru. Katanya, filosofi bagi pemilik kendaraan itu harus rajin mengurusnya. Rajin mencucinya. Karena kendaraan itu membawa makhluk bernyawa, maka sebuah keharusan untuk menjaganya sebaik mungkin.
Saat Bapak meninggal, kakek sangat bersedih kehilangan anak lelakinya. Ia sempat bergumam, anak lelakinya itu tidak sempat memandikan jenazahnya. Yang terjadi justru sebaliknya.
Kakek pun sudah berpulang beberapa tahun lalu. Wafat di usia hampir seratus tahun. Hanya terpaut beberapa tahun dari nenek yang duluan dipanggil Sang Pencipta.
Bagi saya, kakek adalah seorang guru hebat. Ia banyak bercerita kepada saya tentang masa-masa perjuangan kemerdekaan. Kemudian cerita masa pemberontakan mantan tentara republik ini.
Sayangnya, saya tidak sempat membukukan pesan-pesan kakek. Semoga beliau diberi tempat terbaik di sisi-Nya. Diampuni segala dosa dan diterima segala amalan baik. Aamiin.