I.
Krisis Ekonomi kapitalisme 4 tahun belakangan ini (yang merupakan kelanjutan dari krisis-krisis sebelumnya): Berdampak pada semakin melemahnya jalur-jalur ekonomi kapitalisme (terutama di negara berkembang termasuk Indonesia), sehingga membutuhkan strategi baru untuk mengatasinya; Agresifitas pasar !
II.
Situasi politik dalam negeri: Sedangkan di dalam negeri, pertarungan antar borjuasi nasional (elite politik) semakin mengarah pada hal perebutan ceceran-ceceran investasi modal dan kekuasaan politik—di tengah kondisi bahwa kapitalis internasional sedang gencar menyalurkan dana besar-besaran untuk berinvestasi di Indonesia. Bertarungnya antar faksi borjuis (elit politik) di parlemen dan di lahan-lahan perekonomian (proyek-proyek infrastrukstur, kontrak-kontrak karya pertambangan sampai pada korupsi dana program untuk rakyat) semakin merumitkan elit. Kenyataan berikutnya adalah kekuatan di parlemen terpecah-pecah dalam beberapa konsolidasi partai-partai, tidak terkonsentrasinya kekuatan elite di parlemen. Namun, konsolidasi elite yang terpecah-pecah sekalipun masih memiliki kemampuan kuat untuk menindas rakyat. Belum lagi, kepercayaan rakyat terhadap mereka makin hari makin menurun, protes-protes rakyat dan gerakannya sedikit banyak berkontribusi dalam pengungkapkan kebobrokan parlemen, elite, partai politik dan rezim SBY-Boediono.
Setelah krisis-krisis dunia yang mengguncang ekonomi kapitalis (krisis finansial dan barang), maka kapitalisme-neoliberal memang sudah seharusnya memerlukan restorasi dalam dirinya, agar sanggup bertahan dan meminimalisir resiko yang diakibatkannya. Saat ini, yang sangat dibutuhkan—dan sedang dijalankan—oleh kapitalisme-neoliberal adalah agresifitas pasar (bahan baku, tenaga kerja, finansial).
III.
Agresifitas pasar dalam hal-hal yang lebih spesifik terlihat dalam:
1.Makin banyak dan lebih luasnya penjajahan modal, semisal dengan dibuatnya blok-blok regional untuk beberapa wilayah (ACFTA, AANZ FTA, dll).
2.Dalam hal pasar tenaga kerja (termasuk barang komoditi), mereka lebih bisa menghemat biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi untuk keuntungan, missal: borjuis sekarang ini lebih perhatian dalam penghematan biaya produksi dengan memberlakukan efesiensi dan outsourching; yang bermakna bahwa kapitalis lebih jeli memperhitungkan jumlah yang paling tepat penggunaan tenaga kerja, akibatnya adalah pengurangan dan penambahan tenaga kerja.
3.Terlebih dalam situasi krisis dan persaingan antar kapitalis yang ketat, maka ekspresi dari efisiensi tersebut berupa fleksibilitas tenaga kerja (tidak ada status buruh tetap, kapan saja bisa diPHK sepihak—apalagi bila tidak ada serikat buruh revolusioner).
4.Dalam level kebijakan, jelas bahwa kapitalis membutuhkan legalitas hukum untuk memudahkan itu semua; UU No. 13/2003 adalah cermin nyatanya.
IV.
Dalam situasi sulit tersebut (krisis, persaingan antar kapitalis, kebutuhan agresifitas pasar, dll) kapitalisme sangat membutuhkan JAMINAN agar kondisi politik sebuah pemerintahan kapitalis (di negeri berkembang termasuk Indonesia) berjalan tanpa hambatan/serangan yang bisa saja muncul dari ruang lingkup gerakan sosial (mengantispasi respon/radikalisasi rakyatnya). Dalam konteks Indonesia, dimana saat ini terjadi polarisasi kekuasaan politik dan ekonomi (tidak ada borjuis yang dominan), maka jalan yang bisa ditempuh adalah bagaimana membuat situasinya lebih kondusif, setidaknya, bisa dengan cara deteksi dini atas ‘gangguan’ yang bisa mengakibatkan kondisi politik dan ekonomi tidak kacau. Wujudnya bisa saja dengan pelarangan-pelarangan aktivitas politik yang saat ini sudah terus berlangsung dan lebih gencar lagi.
V.
Indonesia, tahun '98 (dan setelahnya), pernah merasakan bagaimana demokrasi didesak oleh rakyat (dengan metode aksi massa) untuk mendobrak batas-batasminimalnya yang sekian lama digardai oleh tentara dan orba.
Batas-batas minimum demokrasi (yang merupakan hasil/capaian dari gerakan rakyat thn 1998) sedikit demi sedikit dihambat laju perkembangannya, seiring dengan kebutuhan kapitalisme dalam menstabilkan perekonomian mereka dari krisis demi krisis yang terjadi, juga kebutuhan akan adanya stabilitas politik di tengah-tengah kenyataan bahwa tiada lagi borjuasi nasional yang memegang kendali penuh atas perekonomian dan kekuasaan politk—tidak ada sentralisasi kekuasaan seperti tersentralnya kekuasaan pada masa orba di tangan kroni Cendana—dalam pengertian lain, terdapat pertarungan antar faksi borjuis di dalam parlemen.