Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Kronologis Krisis Menjelang Soeharto Lengser

20 Mei 2013   17:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:17 1490 1
8 Juli 1997

Kurs dolar mencapai Rp. 2.800. Aktivis politik belum begitu marak. Hanya secara sporadis gerakan unjuk rasa ada di daerah-daerah.

2 Oktober 1997

Gerakan naiknya dolar sudah menembus angka Rp. 3.000

8 Oktober 1997

Kurs dolar sudah mencapai Rp. 3.845. Media sudah mulai memuat tanggapan banyak pihak. Para pengusaha sudah mulai kebingungan.

31 Oktober 1997

IMF mengumumkan akan memberikan bantuan sebesar USD 23 miliar.

1 Nopember 1997

Pemerintah melakukan likuidasi 16 bank. Bank itu di antaranya Bank Andromeda, milik Bambang Trihatmojo (putra Soeharto) dan Bank Jakarta, milik Probosutejo (adik Seoharto).

6 Januari 1998

Pemerintah menyampaikan RAPBN 1998/1999. Kurs susdha mencapai Rp. 4.000per dolar. Aksi mahasiswa semakin marak dan semakin banyak di kota-kota di Indonesia, seperti Yogya, Surabaya, Ujung Pandang, dll. Harga sembako terus membumbung tinggi dijadikan salah satu tema aksi mahasiswa.

9 Januari 1998

Kamis Kelabu ini masyarakat kelas menengah ke atas memborong kebutuhan pangan di pusat perbelanjaan, swalayan, dan toko-toko. Hal itu terjadi karena muncul isu yang menyatakan akan terjadinya huru-hara. Harga susu yang biasanya sekira Rp. 16.000 bis anaik menjadi Rp. 60.000.

16 Januari 1998

Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan bantuan IMF, yang dilakukan oleh Michael Camdessus di Jakarta. Dengan gaya congkaknya Camdessus menyaksikan Soeharto menandatangani kesepakatan itu dengan tangan bersedekap. Ini pertanda Soeharto "menyerah" yang menyinggung perasaan bangsa Indonesia.

10 Maret 1998

Presiden Soeharto "terpilih" sebagai Presiden Indonesia untuk ketujuh kalinya, 1998-2003. Ia terpilih secara "aklamasi" anggota MPR. Menurut Harmoko, terpilihnya Soehartoitu sudah "mendengar" langsung dari masyarakat di sleuruh pelosok tanah air.

11 Maret 1998

Presiden mengucapkan sumpah Presiden di hadapan anggota MPR. Aksi mahasiswa masih berlangsung bahkan semakin besar. Untuk itu Pangab memperingatkan kepada mahasiswa jangan sampai berbuat anarkis dan destruktif.

14 Maret 1998

Presiden mengumumkan Kabinet Pembangunan VII. Begitu diumumkan komentar negatif bermunculan. Susunan kabinet itu zecara terang-terangan berbau nepotisme. Masyarakat tidak setuju dengan diangkatnya Bob Hasan (Menteri Perindustrian dan Perdagangan), Ny. Siti Hardiyanti Rukmana/Mbak Tutut (Menteri Sosial). Ada juga yang memiliki cacad, yaitu Abdul latief (Menteri Pariwisata) dan Haryanto Danutirto (Menteri Pangan dan Obat-obatan). Unjuk rasa kian marak. Bentrokan antara aparat dan mahasiswa pun tak terhindarkan, seperti di Universitas Sebelas Maret, Solo (23 Maret) beberapa mahasiswa jadi korban.

24 Maret 1998

Mahasiswa mendatangi kantor HAM untuk meminta dilakukan penelitian tindak kekerasan aparat terhadap mahasiswa.

3 April 1998

Terjadi bentrokan antara aparat dan aksi mahasiswa di Yogyakarta. Insiden seperti ini mengakibatkan semakin panasnya aksi-aksi mahasiswa, di seluruh kota-kota besar.

5 April 1998

Mendikbud melarang aksi mahasiswa di kampus. Larangan ini justru memicu mahasiswa untuk lebih agresif lagi.

11 April 1998

Pangab mengadakan dialog dengan organisasi kepemudaan, tetapi justru dialog tersebut dianggap sebagai tidak mewakili mahasiswa dan sebagain besar pemuda.

15 April 1998

Secara serentak mahasiswa se-Jabodetabek mengadakan aksi bersama tetapi tidak terjadi insiden. Aksi mereka masih terbatas di kampus atau antarkampus.

18 April 1998

Sejumlah menteri mengadakan dialog dengan mahasiswa dan tokoh masyarakat. Dialog itu dianggap cukup baik, tetapi kalangan mahasiswa menilai tidak memuaskan.

1 Mei 1998

Mendagri dan Menpen menghadap Presiden dan memberikan meralat keterangan, bahwa pernyataan presiden mengenai "reformasis etelah 2003", yang benar adalah bahwa presiden menghendaki reformasi yang konstitusional. Pernyataan kedua menteri tersebut merupakan "ralat" pernyataan sebelumnya. Tetapi "ralat" itu pun tidak bisa diterima oleh masyarakat dan mahasiswa. Aksi mahasiswa di kampus-kampus sudha hampir emrata dan dilakukan secara berkesinambungan. Korban pun mulai berjatuhan, kendati tidak ada yang meninggal.

4 Mei 1998

Pemerintah membuat kebijaksanaan dengan menaikkan harga BBM dan tarif listrik. DPR menolak, masyarakat menghujat dan unjuk rasa semakin menjadi-jadi. Harga kebutuhan semakin menggila.

8 Mei 1998

Di Yogyakarta sudah ada mahasiswa yang meninggal akibat bentrok dengan aparat. Moses Gatutkaca, mahasiswa UGM.

9 Mei 1998

Presiden berangkat ke Kairo, menghadiri KTT g 15. Lettu Dadang Rusamana dari Polres Bogor emninggal dunia karena bentrok dengan aksi mahasiswa. (Kemudian hari meninggalnya diberitakan, karena sakit jantung, dan bukan akrena akibat bentrok dengan mahasiswa).

12 Mei 1998

Empat mahasiswa Trisakti tewas. Unjuk rasa mahasiswa semakin menjadi-jadi. Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan juga kota-kota di luar Jawa.

13 Mei 1998

Presiden Soeharto di Kairo memberikan pernyataan, "Jika rakyat tak menghendaki dirinya lagi, ya silahkan. Ia tak akan mempertahankan jab atannya dengan menggunakan senjata". Kota Jakarta berkabung dan mahasiswa mengantarkan jenazah mahasiswa yang gugur. Di samping itu, Jakarta bagikan dalam keadaan "perang". Unjuk rasa yang semula murni menjadi unjuk rasa yang anarki. Pembakaran, penjarahan, dan sebagainya terjadi di mana-mana di Jakarta. Kyrs rupiah sudah Rp. 11.500 per dolar.

14 Mei 1998

Kerusuhan di Jakarta masih berlanjut, bahkan lebih besar lagi berkembang ke kota-kota sekitarnya. Kerusuhan ini menelan korban lebih 1000 orang, kebnayakan tewas terbakar dengan kerugian yang ditaksir sekira Rp. 2,5 triliun. Kota-kota lainnya juga siaga, kerusuhan kecil-kecil pun terjadi.

15 Mei 1998

Presiden tiba di Kairo. Menpen Alwi Dahlan diminta untuk "meralat" pernyataan presiden di Kairo. Isinya: Presiden Soeharto tidak pernah menyatakan siap mundur, tetapi kalai masyarakat tidak percaya lagi, ia akan lengser kepabron. Dalam hari yang bersamaan, setelah dicerca oleh Komisi V, pemerintah menurunkan harga BBM.

16 Mei 1998

Harmoko bertemu dengan presiden dan menyatakan bahwa presiden akan melakukan reshuffle kabinet. Suasana Jakarta sudah snagat panas, rencana akan ada rapat akbar di Monas, yang dipelopori oleh Amien Rais.

18 Mei 1998

Pagi hari ribuan mahasiswa dan masyarakat serentak datang ke gedung DPR RI, Senayan. Mereka menuntut dilaksanakannya Sidang Umum Istimewa MPR serta pencabutan mandat dari Presiden Soeharto. Sore harinya, Harmoko mengumumkan Presiden Soeharto secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri. Pernyataan Harmoko ini disambut gembira oleh mahasiswa dan masyarakat. Tetapi malam harinya, masyarakat dikejutkan dengan pernyataan Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto yang menyatakan bahwa pernyataan Harmoko adalah pernyataan individual.

Keadaan di gedung DPR semakin hiruk-pikuk. Jumlah mahasiswa dan masyarakat yang berada di sana semakin ba nyak. Mereka tidak mau meninggalkannya, bahkan semakin bersemangat untuk berorasi. Keadaan ini juga disiarkan secara langsung oleh media elektronik luar negeri, seperti CNN, CNBC, ABC, dan sebagainya.

21 Mei 1998

Puncak "pesta poira" anak bangsa itu berakhir, ketika Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, pukul 09.10. Salah satu tujuan aksi mahasiswa dan aksi masyarakat telah selesai.

*) Sumber: Buku "Tumbangnya Rezim Soeharto", penulis: H. Soeharto, penerbit: PT  Bina Ilmu, Surabaya, 1998

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun