Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Santri Ditipu Abangan, Sampai Kapan (2)

15 Desember 2012   07:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:36 663 0

Sambungan dari: Santri Ditipu Abangan, Sampai Kapan (1)

Seperti sudah jadi aturan yang tak tertulis, meskipun bisa saja diperdebatkan, bahwa selalu ada dikotomi, Jawa-non Jawa, Militer-Sipil, Nasionalis-Islam,  pribumi-non pribumi, dan lain-lain.

Memang faktanya ada saja formulasi dikotomi:

*) Jawa-non Jawa, sebagaimana terjadi pada fase awal pemerintahan Republik Indonesia, yakni pasangan Soekarno-Hatta. Namun demikian meski Sipil-Sipil mereka mewakili pasangan Jawa-non Jawa, Nasionalis-Islam atau Abangan-Santri, politisi-ekonom.

*) Militer-Sipil, sebagaimana terlihat pada fase awal pemerintahan Soeharto, kemudian di tahun 1990-an jadi Militer-Militer (Soeharto-Try Sutrisno), kemudian di ujung pemerintahan Orde Baru kembali Militer-Sipil (Soeharto-Habibie). Fase Orba pun mengadopsi dikotomi Jawa-non Jawa, Abangan-Santri.

*) Santri-Abangan, sebagaimana pasangan Gus Dur-Mega maupun Mega-Hamzah situasi nasional tidak stabil. Fase awal Reformasi ini pun ada dikotomi Santri-Abangan dan Jawa-Jawa (Gus Dur-Mega), dan Abangan-Santri dan Jawa-non Jawa (Mega-Hamzah).

*) Militer-Sipil, sebagaimana pasangan SBY-JK dan SBY-Boediono. Lagi-lagi terjadi Abangan-Santri dan Abangan-Abangan. Hanya saja SBY-JK mewakili Jawa-non Jawa, kemudian berikutnya SBY-Boediono mewakili Jawa-Jawa.

*) Muslim-non Muslim. Dikotomi ini hanya berlaku dalam taraf wilayah dalam kepemimpinan Gubernur, Bupati/Wali Kota hingga kepemimpinan di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan. Bahkan ada pula yang Non Muslim-Muslim mengingat pada suatu daerah yang dominan adalah penduduk Non Muslim ataupun memang kuatnya elektabilitas pemimpin Non Muslim. Namun dalam kasus presiden bahkan wakil presiden pun tak pernah ada umat Non Muslim mampu duduk di dua kursi tersebut.

Namun demikian, dalam tahun-tahun ke depan, dengan makin terbukanya informasi dan demokrasi, kian beragamnya pandangan-pandangan "modernitas", dan lain-lain, misalnya 2014 atau 2019 dan seterusnya, tidak tertutup kemungkinannya ada presiden atau wakil presiden Non Muslim. Tinggal ada atau tidak yang berani mencalonkan diri, bahkan hingga mampu duduk di singgasana tertinggi karena adanya dukungan massif dari WNI. Namun terus terang sebagai seorang Muslim, saya tegaskan bahwa saya hanya akan mencoblos calon pemimpin dalam level apa pun (desa hingga negara) yang berlatar belakang Muslim (umat Islam) sebagaimana sudah saya tulis (Inilah Alasan Saya Memilih Pemimpin Muslim). Bahkan saya masih terus mengkaji ke arah pilihan bahwa pimpinan (kepala dan wakil) haruslah sama-sama Muslim, bukan hanya sekadar kepalanya saja, apalagi sekadar wakilnya saja. Bila calon Muslim ada pun tetapi tidak termasuk dalam kriteria-kriteria saya, maka saya memilih untuk tidak mencoblos.

Fakta presiden Jawa (etnis-wilayah): Soekarno, Seharto, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri (MSP), SBY

Fakta presiden non Jawa (etnis-wilayah): Baharuddin Jusuf Habibie (Sulawesi)

Fakta presiden militer: Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono

Fakta presiden sipil: Soekarno, BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri

Fakta presiden Santri: BJ. Habibie, Gus Dur (2)

Fakta presiden Abangan: Soekarno, Soeharto, MSP, SBY (4)

Berdasarkan nama, maka jelas sekali jumlah presiden bernama Santri 2 -4 Abangan. Padahal umat Islam (sebagai representasi Santri) di Indonesia itu mayoritas (88%). Presiden Santri yaitu BJ. Habibie dan Abdurrahman Wahid dan Presiden Abangan yaitu Soekarno, Soeharto, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono.

Wakil presiden Santri: Mohammad Hatta, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, BJ. Habibie, Hamzah Haz, Muhammad Jusuf Kalla (6)

Wakil presiden Abangan : Hamengku Buwono IX, Soedharmono, Try Sutrisno, Megawati SP, Boediono (5)

Sedangkan wakil presiden bisa dikatakan dalam posisi seimbang, karena Hamengku Buwono dan Umar Wirahadikusumah bisa bertukar bertempat: bisa Santri dan bisa pula Abangan.

Jadi, Santri masih kalah dari Abangan, sampai kapan?

Faktor kemenangan

Faktor kemenangan presiden, dalam kacamata saya, pun ditentukan oleh siapakah pesaingnya. Dalam kasus SBY yang memenangi Pilpres sebanyak dua kali disebabkan oleh bukan hanya kemonceran putra Pacitan itu. Namun juga disumbang oleh rendahnya elektabilitas para pesaing. Karen adanya adagium tak tertulis yang mengendap di alam bawah sadar masyarakat Indonesia bahwa jika ada tak calon yang terbaik, maka lebih baik memilih: asalkan bukan dia.

*) Pilpres 2004. Amien Rais itu sangat diresisten oleh mayoritas kalangan Nahdliyin, padahal komunitas Muslim inilah yang terbesar di republik ini. Ditambah lagi dengan tidak kompaknya komunitas Muslim. Contohnya dengan menyodorkan Hasyim Muzadi (saat itu Ketua Umum PB NU) sebagai pendamping Megawati dan Shalahuddin Wahid (adik Gus Dur) sebagai pendamping Wiranto. Warga Muhammadiyah, pendukung utama Amien, juga resisten dengan Nahdliyin. Mungkin lain ceritanya bila komunitas Muslim bersatu mendukung Amien Rais atau Hasyim Muzadi atau Shalahuddin Wahid. Ketidakkompakan Muslim ditambah dengan "sinisme" PDI-P, terutama Taufik Kiemas dan Megawati SP, kepada SBY. Juga faktor Wiranto yang diidentikkan dengan pembela Soeharto. Sudah jatuh ketimpa tangga pula. Jelaslah, Muslim atau Santri kalah. Faktanya, SBY yang saat itu belum moncer ketiban sampur dengan adanya ketidakkompakan Muslim tersebut.

*) Pilpres 2009. Sebagaimana Wiranto, Prabowo pun diidentikkan dengan Soeharto yang masih "dimusuhi" rakyat Indonesia. Sehingga Prabowo yang disandingkan dengan Megawati gagal melangkah ke RI-2. Ditambah faktor Megawati yang tidak akur dengan SBY. Dalam kacamata masyarakat, perilaku Megawati tidak simpatik. Sementara JK dipersepsikan sebagai orang luar dan non Jawa walaupun memiliki ketegasan dan program yang bagus. Lagi-lagi SBY menang pada Pilpres 2009.

Lebih penting lagi, faktor-faktor tersebut harus dilihat bahwa Abangan tetaplah dominan di republik ini, walaupun sudah mengalami santrinisasi. Mengingat juga Santri belum ada tokoh yang kharismatik hingga detik ini. Oleh karena itu, dalam kacamata saya, pasangan yang tepat dari melihat dari faktor-faktor tersebut, bukan hanya dari salah satu faktor semata. Adanya tokoh sipil sekaligus Santri yang benar-benar mumpuni, semisal Fadel Muhammad, bisa saja orang non Jawa bisa memimpin lagi setelah Habibie. Itu pun sepertinya harus disandingkan dengan Prabowo yang militer sekaligus Abangan misalnya, maka okelah mayoritas rakyat Jawa saya kira sudi dipimpin orang luar Jawa. Prabowo pun disebut-sebut sebagai new Gadjah Mada, pernah pula menjadi cawapres bagi Megawati pada Pilpres 2009. Dengan demikian, sebenarnya Prabowo pun sudi dinomorduakan, tidak selalu nomor satu. Setidaknya saya pribadi lebih mantap memilih Fadel-Prabowo atau sebaliknya, tidak menjadi masalah yang berarti.

Namun demikian, Fadel terganjal posisinya sebagai tangan kanan Aburizal Bakrie yang sudah menyapreskan diri. Sedangkan Prabowo terganjal kecilnya elektablitas Partai Gerindra. Megawati terganjal karena kekalahannya sebanyak dua kali sekaligus umurnya yang kian menua. Sedangkan SBY sudah tidak bisa nyapres lagi sekaligus babak belurnya PD membuat PD tak masuk hitungan sebagai partai pengusung capres. Sementara Rhoma Irama yang sudah mantap nyapres terganjal dengan perilaku-perilakunya yang membuat sebagian masyarakat mencibir ketimbang mendukung. Ditambah lagi dengan nama-nama yang meramaikan pasar bursa capres 2014, seperti HB X, Jokowi, Dahlan Iskan, Hatta Rajasa, Mahfud MD, dan lain-lain.

Melihat peta tersebut, Pilpres 2014 bisa dikatakan sebagai Pilpres dengan banyak tokoh yang tidak dominan.

Analisis othak-athik-gathuk saya sampai kepada:

*) Pasangan Prabowo-Rhoma atau Rhoma-Prabowo. Prabowo menyapreskan dari jalur independent, karena kecilnya elektabilitas Gerindra, meskipun sepertinya tertutup jalur ini. Namun entahlah di tikungan kelak jadi terbuka. Pasangan Rhoma-Prabowo memiliki problem bahwa Rhoma enggan jadi no. 2 atau cawapres. Namun dengan lobi-lobi bisa saja Rhoma luluh sehingga mau menjadi pendamping Prabowo.

*) Prabowo-Mahfud atau Mahfud-Prabowo. Sebagaimana analisis Prabowo-Rhoma atau Rhoma-Prabowo.

*) Prabowo-Jokowi atau Jokowi-Prabowo. Pertanyaannya apakah rela PDI-P menyodorkan kadernya itu jadi cawapres Prabowo atau lebih ditunggu lagi apakah mau Megawati mengalah pada Jokowi sekaligus berpasangan dengan Prabowo. Kasus Pilpres 2009 menjadi pelajaran, bahwa Mega ngotot jadi capres yang berbuah kekalahan. Padahal beberapa pihak mengatakan bahwa jika Prabowo-Mega, maka kans besar memenangi Pilpres 2009.

Terus terang, saya lebih senang HB X sebagai Raja Ngayogyakarta sekaligus Gubernur DIY ketimbang jadi presiden apalagi wakil presiden. Karena baik sebagai presiden maupun wakil presiden tetap saja memimpin bersama-sama. Lebih terhormat HB X jadi raja ketimbang jadi presiden, apalagi wakil presiden. Sehingga bila ada capres yang sengaja memosisikan HB X sebagai wakil presiden saya tidak simpatik, kecuali ada tokoh mumpuni yang kelak akan muncul.

Terus terang pula, melihat dari nama-nama yang muncul di panggung media, saya tidak mendukung Ical, Dahlan Iskan, Hatta, apalagi kader Demokrat dan PKS sehingga saya tidak perlu menganalisis, meskipun masuk dalam pasar bursa capres-cawapres. Saya termasuk yang mengamini dan masyarakat yang diformulasikan oleh Cak Nur: Islam Yes, Partai Islam No! Pasalnya, Islam tidak ada masalah, tetapi bila sudah di ranah pemerintahan/politik maka tidak selalu sebangun. Pelabelan parpol tertentu sebagai Partai Islam tentu banyak tidak tepatnya. Walaupun untuk membedakan dengan parpol tertentu bisa jadi tepat. Oleh karena itu, ke depan mungkin pelabelannya bisa jadi Partai Santri dan Partai Abangan walaupun bisa juga dilabeli Religius-Nasionalis (cenderung Santri) dan Nasionalis-Religius (cenderung Abangan). Namun demikian, bila setelah tulisan ini termuat, ternyata muncul nama yang mumpuni, maka tidak tertutup untuk saya analisis.

Mimbar intelektual nan renyah

Tulisan di atas merupakan rangkuman hasil diskusi Great Thinkers: Clifford Geertz Santri-Abangan Indonesia  di Gedung Pusat Antar Universitas UGM Yogyakarta (13/12/2012) yang menghadirkan narasumber: Prof. Mark Woodward (CRCS UGM-Arizona State University)), Kuskrido Ambardi, Ph.D. (Pakar Komunikasi Politik UGM), dan Dr. Sugeng Bayu Wahyono (Staff Pengajar Fakultas Pendidikan UNY) dengan moderator Dr. Zuly Qodir.

Terus terang, saya membuat judul di atas terinspirasi dari pernyataan Pak Bayu. Terus terang pula, saya baru kali itu mendapati mimbar ilmiah nyang renyah seperti itu. Sebagaimana trikotomi Geertz: Santri-Abangan-Priyayi, sang moderator Pak Zuly memerankan Santri sesuai dengan namanya yang islami, sementara Pak Dodi memerankan priyayi, dan Pak Bayu sesuai dengan namanya dan juga mengakui memerankan Abangan. Sementara Prof. Mark  memerankan peneliti asing. Prof. Mark cukup fasih berbahasa Indonesia.  Di antara mereka saling ledek, terutama Pak Zuly dan Pak Bayu.

(dok: ugm.ac.id)

Sementara Mark sudah meninggalkan mimbar ketika sesi diskusi berjalan. Namun demikian, tiada terlihat ketengangan atau ketersinggungan di antara mereka. Suasana justru penuh dengan derai tawa yang menular pada peserta yang didominasi oleh para mahasiswa S2 dan S1. Mungkin hanya saya yang sudah tidak bersekolah, dan saya pun mendaftar sebagai peserta Great Thinkers itu sebagai masyarakat, terutama pecinta pustaka. Suasana membumi itu laiknya suasana lesehan atau angkringan khas Jogja banget.

Dan, yang terpenting, meski dikemas renyah, tetapi hebatnya pandangan-pandangan yang diutarakan sangat mengena, sangat membumi.

Semoga ada mimbar intelektual seperti itu di lain waktu, di lain tempat di seluruh Nusantara Indonesia.

Salam Indonesia Kita!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun