Film ini diawali dengan aktivitas Huo kecil yang berlatih silat tanpa sepengetahuan Ayah-Ibundanya karena Huo menderita sakit yang tidak memungkinkannya untuk berlatih silat. Huo berlatih silat ditemani sahabatnya. Ayahnya merupakan pemilik padepokan persilatan di sebuah kota kecil dengan ratusan murid. Larangan berlatih silat bersama murid-murid padepokan membuat Huo mencuri-curi kesempatan untuk menonton latihan silat yang dilakukan Ayahanda dan murid-muridnya.
Pada suatu kesempatan diselenggarakan lomba atau kompetisi bela diri di kota tersebut. Ayahanda Huo ikut serta bersama puluhan pesilat yang lain. Sebagaimana anak-anak yang lain, Huo dan sahabatnya pun ikut menonton laga tersebut. Pada saat berlaga dengan lawannya yang cukup tenar di kota tersebut, Ayahanda Huo mengetahui jika Huo menontonnya. Saat itu keadaan lawan sudah terdesak, tetapi Ayahanda Huo tidak ingin memberikan pelajaran yang buruk kepada buah hatinya tersebut, maka Ayahanda Huo urung untuk melancarkan jurus mautnya. Apa yang terjadi kemudian? Ayahanda Huo terjatuh terkena pukulan lawan. Dengan demikian, Ayahanda Huo dinyatakan kalah.
Huo yang menganggap Ayahanda adalah orang yang hebat merasa jengkel sekaligus bertanya-tanya ada apa gerangan dengan Ayahandanya yang memilih kalah dari lawannya yang sudah terdesak? Huo belum paham dengan apa yang dilakukan Ayahandanya. Kekalahan Ayahandanya tersebut menimbulkan ejekan dan olok-olok dari lawan bermainnya, anak dari si pemenang. Ejekan dari kawannya tersebut diladeni oleh Huo dengan mengajaknya bertarung di panggung sebagaimana Ayahanda mereka bertarung. Padahal sahabatnya sudah melerai Huo agar tidak mengajaknya berkelahi karena sahabatnya mengerti betul kalau Huo tidak mahir bela diri. Dalam laga tersebut Huo tersungkur dan kalah, maka Huo semakin diejek dan dihina oleh lawan-lawannya itu.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Huo tumbuh menjadi anak lelaki dewasa. Seiring bertambah umurnya, tumbuh pula kemahirannya bersilat dan akhirnya berkeluarga.
Terinspirasi oleh kehabatan Ayahandanya, Huo menantang semua jagoan di kotanya untuk melawannya. Satu per satu jagoan dikalahkannya, termasuk sang lawan yang dahulu mengalahkannya. Huo pantas menjadi jagoan di kotanya. Ketenarannya tersebut mengundang pemuda-pemuda untuk berguru kepadanya. Namun ternyata masih ada satu jagoan lagi, tetapi Huo belum ada alasan dan waktu yang tepat untuk menantangnya berduel. Sahabatnya  yang menjadi pengusaha hotel dan wisma penginapan sudah mengingatkan Huo agar tidak asal menerima murid sekaligus menghentikan nafsu petarungnya karena biaya yang harus dikeluarkan untuk dua hal tersebut sangat mahal, banyak sudah hutang Huo kepada sahabatnya itu. Hingga saatnya tiba, seorang muridnya datang mengaku dianiaya oleh murid sang jagoan. Darah petarung Huo menggelegak sekaligus tidak ingin dia dipermalukan dengan cara seperti itu.
Ketika sang jagoan sedang merayakan ulang tahunnya bersama keluarga dan murid-muridnya  di sebuah hotel milik sahabatnya, tiba-tiba Huo beserta murid-murid terpilihnya mendatangi pesta tersebut sekaligus menantangnya berduel. Sahabatnya sudah melerai Huo agar tidak berduel. Sang jagoan pun tidak dapat mengelaknya karena tidak ingin malu di hadapan murid-muridnya. Akhirnya mereka berduel di dalam hotel tersebut. Masing-masing murid berjaga-jaga di luar hotel menunggu siapa pemenangnya.
Pada awal pertarungan keduanya imbang, tetapi semakin lama sang jagoan semakin terdesak. Akhirnya Huo pun menjadi pemenangnya dengan terbunuhnya sang jagoan. Sorak-sorai murid-muridnya membahana ke seantero kota. Sahabatnya hanya dapat mengelus dada. Pasalnya, hotelnya porak poranda karena duel tersebut.
Huo Yuan Jia is no. 1.
Huo menjadi buah bibir di seantero China. Masyarakat pun berbondong-bondong ingin menjadi muridnya. Huo tidak dapat menolaknya. Keuangan padepokan semakin terkuras. Hutangnya kepada sahabatnya semakin menggunung. Huo berjanji akan melunasinya sekaligus mengajaknya untuk mendirikan padepokan persilatan terkemuka untuk meningkatkan harkat martabat bangsa China. Namun sahabatnya sudah patah harapan akan kesungguhan Huo sehingga sahabatnya sudah tidak mempercayainya.
Seiring kesibukannya bertarung dan mengurus padepokan, keluarga pun terbengkalai. Itulah yang membuat Huo lengah sehingga putrinya dibunuh oleh anak sang jagoan yang merasa sangat marah dan dendam atas kematian ayahnya. Tak kuasa menanggung ketakutannya kepada Huo, anak tersebut bunuh diri sebelum Huo mengajaknya berduel. Dengan perasaan sedih yang mendalam atas kematian putrinya, Huo mendatangi rumah sang jagoan. Pada saat itu yang ada hanyalah istri dan anak sang jagoan yang sedang bersimpuh di hadapan jasad sang jagoan. Huo tak kuasa untuk membunuh anak dan ibu tersebut.
Lantas Huo pulang ke padepokannya, tak lama kemudian muridnya yang dahulu dianiaya oleh murid sang jagoan datang mengakui bahwa dialah yang mengganggu istri sang jagoan sehingga murid sang jagoan menghajarnya.
Kejadian dan fakta tersebutlah yang sangat membingungkan Huo. Tak kuasa menahan beban berat tersebut, Huo jatuh sakit ingatan, seperti orang gila. Dalam sakitnya itu, Huo berjalan tanpa arah tujuan yang jelas dan akhirnya menceburkan diri ke sungai besar hingga berhari-hari, akhirnya terdampar di sebuah desa nan asri yang ditemukan oleh sebuah keluarga petani setempat.
Dengan telaten keluarga petani yang mempunyai seorang putri buta tersebut mengobati Huo. Beberapa hari kemudian, Huo sembuh, meskipun belum sadar sepenuhnya. Huo pun bermain-main bersama anak-anak desa. Pada musim tanam, Huo ikut menanam benih padi di sawah milik keluarga petani itu. Saking cepat gerakannya sekaligus tidak memahami cara menanam yang benar, penanaman benih padi (tandur, Jawa) itu tidak beraturan sehingga ditanam ulang oleh putri keluarga petani. Hari berganti bulan, akhirnya padi pun menguning dan dipanen. Huo mulai sadar bahwa dia bukanlah anggota keluarga petani dan bukan warga desa itu.
Pada suatu waktu, Huo mengutarakan keinginannya untuk pulang ke kampung halamannya yang sudah berbulan-bulan ditinggalkannya. Keluarga petani dan sang putri pun merelakan Huo pulang kampung dengan harapan suatu saat dapat bersua kembali.
Setelah berjalan beratus kilometer, sampai juga Huo ke kampung halamannya dan langsung menuju padepokan persilatannya yang sudah lama tidak terurus karena ketidaktahuan Pak Tua disebabkan menghilangnya Huo. Setelah berbenah, Huo mendatangi seperguruannya sekaligus sahabat akrabnya yang sudah sukses menjadi pengusaha hotel dan wisma penginapan. Huo pun mengutarakan kembali niat yang sudah disampaikan kepada sahabatnya, yakni keinginan untuk mendirikan padepokan atau perguruan bela diri yang lebih besar dari pada yang sudah dimilikinya sekaligus dikelola secara profesional dengan tujuan agar memajukan bangsa China sehingga tidak dipinggirkan oleh bangsa lain, terutama Jepang yang waktu itu sedang menjajah China.
Kali ini keinginan Huo didukung sepenuhnya oleh sahabatnya tersebut. Padepokan pun berdiri dengan cukup megah. Seiring berjalannya waktu, padepokannya semakin tenar sehingga pemuda-pemuda berdatangan untuk menjadi muridnya.
Pada suatu waktu, Huo mengikuti sayembara bela diri yang diselenggarakan oleh pengusaha Jepang. Jumlah peserta  berjibun dari berbagai daerah di China, bahkan sampai ke mancanegara. Babak demi babak Huo memenangi pertandingan sehingga sampailah pada babak final yang mempertemukannya dengan pesilat Jepang.
Cerita selanjutnya, tontonlah film "Fearless", based on from true story dengan bintang Jet Li.
* Saya memang mengagumi Fearless dan Jet Li.