Pada suatu masa, tersebutlah seorang pengusaha Muslim Jawa bernama Joko Widodo mencalonkan diri (atau dicalonkan?? saya tidak tahu persis bagaimana Jokowi bisa berminat  jadi Walikota Solo) dengan menggandeng aktivis sepakbola Nasrani Jawa bernama F.X. Hadi Rudyatmo. Kendaraan utama mereka adalah PDI-P. Dalam perjalanannya PKS ikutan mendukung mereka bersama dengan  gabungan partai.
Kemudian Pilwako Solo pun digelar. Hasilnya, Jokowi-Hadi menang telak atas lawannya.
Beberapa tahun kemudian, PDI-P mengajukan Jokowi untuk bertarung di Pilgub DKI Jakarta. Kemudian Gerindra menyodorkan seorang pengusaha Nasrani Tionghoa bernama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Kemudian gelaran Pilgub DKI Jakarta pun digelar. PKS mengajukan jagoannya sendiri. Namun kalah dari Jokowi-Ahok dan Foke-Nara. Kemudian berjalannya waktu, PKS ikutan gerbong gajah alias PKS kali ini memilih menjadi seteru Jokowi alias tidak mendukung Jokowi lagi sebagaimana Pilwako Solo silam.
Pada 20 September 2012, lagi-lagi Jokowi memenangi Pilgub DKI Jakarta Putaran IIÂ bersanding dengan Ahok. Kendaraannya hanyalah PDI-P dan Gerindra yang disebut koalisi semut.
Pilihan PKS yang berubah-ubah alias mendua itu boleh jadi disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
1) Pada saat Pilwako Solo, PKS melihat Jokowi tak terkalahkan sehingga memilih bersamanya. Selain itu, Jokowi dianggap masih ada hal-hal yang sejalan dengan visi-misi PKS ketimbang seteru Jokowi-Hadi. Berjalannya waktu, belum ada niat Jokowi untuk meninggalkan jabatannya untuk berpindah ke lain hati.
2) Pada saat Pilgub DKI Jakarta, PKS melihat Jokowi sudah berani berpindah ke lain hati, yakni DKI, meskipun belum Jokowi belum menang. Oleh karenanya PKS pun menjagokan diri. Kemudian Jokowi berhasil unggul dan melaju ke Pilgub DKI Jakarta Putaran II. Sementara jagoan PKS kalah.
Melihat keunggulan Jokowi-Basuki tersebut, maka PKS teringat akan wakilnya di Solo, yakni F.X. Hadi Rudyatmo. Bila Jokowi menang di DKI maka Hadi yang jadi Walikota Solo. Tak ingin mengulangi "kesalahan" untuk kali keduanya, PKS memilih untuk mendukung Foke-Nara, seteru Jokowi-Ahok, bersama gajah-gajah.
Pada 20-9-2012, perhitungan PKS betul. Jokowi-Basuki menang. Jokowi-Basuki jadi DKI-1 dan DKI-2.
Dengan perpindahan dukungan tersebut, PKS ingin tetap dikatakan "bersih", tidak "kotor" gara-gara Pilwako Solo silam. PKS sudah merasa "berdosa" dengan mendukung Jokowi-Hadi sehingga ketika Jokowi jadi Gubernur DKI, otomatis secara perundangan Hadilah yang menggantikan posisi Walikota Solo yang ditinggalkan Jokowi.
Pilgub DKI sudah mengantarkan Jokowi duduk di kursi DKI-1. Bila Jokowi "tak berkutik" oleh kehebatan Sang DKI-2 Ahok, maka PKS tak ingin "belepotan dosa". Apalagi bila kelak Jokowi tergoda untuk meninggalkan jabatan DKI-1 untuk mencalonkan atau dicalonkan ke kursi RI-1 atau RI-2, maka PKS bertambah merasa "berlumuran dosa". Karena sesuai aturan perundangan jika Gubernur "pergi" maka Wakil Gubernur menggantikan posisi Gubernur.
3) PKS ikut gerbong koalisi gajah karena memang sudah tabiatnya sejak tahun 2004. PKS sudah "masuk" koalisi gajah sejak Pilpres 2004 kemudian Pilpres 2009, juga Pilwako Solo 2011. Ketakutan kehilangan "kursi" setelah berjibaku memperoleh dukungan cukup signifikan di level nasional itulah yang membuat PKS selalu mesra di koalisi gajah. Walaupun pada level daerah bisa saja mereka bermesraan dengan PDI-P dan Gerindra.
Itu analisa saya mengenai sikap mendua Partai Keadilan Sejahtera. Analisa saya tersebut mengabaikan faktor-faktor yang lain, semisal persoalan negosiasi mahar yang "dikehendaki" PKS kepada Jokowi-Basuki, "tidak bisa bertemunya" Jokowi-Basuki dengan petinggi PKS, dan lain-lain yang sempat ramai diberitakan.
Sikap mendua PKS itulah yang membuat orang-orang yang sedari awal melihat "kebersihan" PKS itu laksana setitik cahaya di tengah kegelapan "kekotoran" di Republik ini kemudian kemudian mengalihkan dukungan ke partai politik lain atau bahkan sangat mungkin jadi pengikut Partai Golongan Putih (PGP). Bahkan beberapa orang mengatakan PKS sebagai partai bunglon.
Melihat sepak terjang PKS, saya tidak bisa menyembunyikan perasaan campur-aduk terhadapnya. Namun demikian saya tidak berani mengatakan PKS sebagai partai bunglon, karena tidaklah mudah "tetap bersih" di tengah "kekotoran" ini. PKS tentu memiliki seabreg pertimbangan-pertimbangan sehingga bersikap seperti bunglon.
Dengan sikap PKS tersebut, saya juga tidak mengatakan PKS sebagai partai Islam. PKS hanyalah partai yang berbasis massa Islam, tetapi bukan Islam itu sendiri. Islam dalam arti ideal tentu bukanlah seperti yang ditampilkan PKS. Meskipun PKS sudah berusaha untuk menampilkan Islam, tetapi belum bisa dikatakan Islam secara kaffah.
Oleh karenanya saya tidak menjadi pendukungnya hingga detik ini meskipun saya beragama Islam. Dukungan saya hanyalah pada figur atau tokoh, bukan partai politik. Walaupun demikian saya harus berterus terang bahwa memang PKS setitik cahaya "kebersihan" di tengah "kekotoran". Bila ada figur atau tokoh PKS yang oke tentu saja saya akan mendukungnya. Buktinya pada Pilbup Sleman 2010 silam saya mencoblos pasangan Hafidz Asrom -Â Sri Muslimatun, karena saya mengakui "kebersihan" keduanya.
Salam Indonesia Kita!