Padahal kita orang Indonesia kan? Namun fakta itu jangan sampai membuat kita saling menyalahkan, jangan mengatakan itu sebuah kebodohan. Kita pun bisa berapologi, mencari segudang pembenaran, tetapi jangan lantas keinginan untuk terus-menerus belajar terhenti, justru harus senantiasa diasah agar Bahasa Indonesia tidak punah. Sebagai orang Jawa, bahkan saya bisa jadi termasuk yang parah, karena tidak hafal aksara Jawa, bila disuruh menulis sebuah kalimat menggunakan aksara Jawa, maka dipastikan saya tidak bisa. Juga menulis atau berbicara menggunakan bahasa Jawa, saya tidak terlalu bisa. Waduh, malunya, hiks hikss.....
Sebagai orang Banyumas pun saya sudah banyak lupa bahasa Ngapak-ngapak, salah satunya gara-gara belasan tahun sudah hidup di Yogyakarta, bahkan beberapa orang DIY sendiri menganggap saya orang Yogyakarta, menurut cerita ayah memang leluluhur saya orang Yogyakarta, karena gaya Ngapak khas Kasino atau Darto Helm sudah hilang, meskipun setelah ngobrol lama barulah ketahuan kalau saya masih belum hilang ke-pribumi-annya sebagai orang Republik Ngapak, karena menurut ayah leluhur saya masih trah Sunda. Berbekal cerita ayah tersebut, sudah agak lama hingga detik ini saya menelusuri ketersambungan Sunda dan Banyumas. Insya Allah, kelak saya akan menuliskannya.
Bagi Kompasioner dan pembaca yang aslinya orang Batak, orang Minang, orang Palembang, orang Betawi, orang Sunda, orang Dayak, orang Bugis, orang Maluku, dan orang Papua sumonggo nguri-nguri atau melestarikan kebudayaannya masing-masing. Pasalnya, itu sangat penting dan itulah salah satu alasan kita bersama-sama mendirikan "rumah besar" kita yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salam Indonesia Kita!
Kembali ke persoalan kebahasaan, saya mencatat ada beberapa hal, di antaranya.
1) Sebagaimana kaidah Bahasa Jawa dan Indonesia, maka penulisan Jawa yang benar adalah Jawa, sedangkan membacanya Jowo. Demikian pula penulisan Sunan Kalijaga dan Wali Sanga yang benar adalah Sunan Kalijaga dan Wali Sanga, sedangkan membacanya boleh tetap Sunan Kalijaga dan Wali Sanga, tetapi bila ingin kerasa benar Jawanya, maka membacanya Kalijogo dan Wali Songo.
Demikian pula dengan penulisan Gadjah Mada yang benar adalah Gadjah Mada, sedangkan membacanya boleh tetap Gadjah Mada,kerasa gagah memang, dan memang Mahapatih Majapahit itu sangat gagah. Namun bila inginkerasabenar Jawanya, maka membacanya Gadjah Modo, tetapi bukan Godjoh Modo, lho... karena kata Gadjah berasal dari nama hewan gadjah (gajah). Namun penulisan Gadjah Mada, terutama Gadjah itu karena menurut Bahasa Indonesia ejaan lama, sedangkan menurut Bahasa Indonesia ejaan baru maka Gajah, sehingga menjadi Gajah Mada. Pendapat saya pribadi, kerasa gagah sekaligus sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa besarnya, maka saya lebih mantap menulis dan menyebut mahapatih pengucap Sumpah Palapa itu dengan nama Gadjah Mada atau Gadjahmada. Mengenai sosok mahapatih ini, termasuk penulisan dan penyebutannya Gadjah Mada atau Gadjahmada, Insya Allah akan saya tulis kelak.
Sedangkan mengenai nama kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur atau di wilayah Indonesia yang lain, seperti Ponorogo, Probolinggo, Purbalingga, maka tetap menuliskannya demikian adanya, meskipun bagi orang Jawa sebelah wetan, yaitu Jogja, Solo, dan Jawa Timur, kadang membaca atau menyebut Purbalingga menjadi Purbolinggo. Padahal Purbalingga merupakan sebuah kabupaten  di eks Karesidenan Banyumas yang sehari-hari memakai bahasa Ngapak-ngapak, maka membacanya tetap Purbalingga, haha.... Mengenai kenapa bisa begitu kelak akan saya tulis mengenai asal-usul orang Banyumas dan Sunda. Insya Allah.
Arya kadang ditulis Arya (Aryo), Aria (Ario), atau Harya (Haryo), karena menurut aksara Jawa Hanacaraka, Arya dibaca Harya, lagi-lagi ada sumbangsih rasa bahasa. Pasalnya, orang Jawa memang sangat peka terhadap rasa. Mengenai asal-usul Jawa dan asal-usul sifat-sifatnya yang komrehensif sedang saya telusuri, tulisan yang sudah ada (Asal-usul Orang Jawa Versi Babad Tanah Jawi (Wirjapanitra), Asal-usul Orang Jawa Versi Kompilasi, dan Asal-usul Orang Jawa Versi Padmosoekotjo dan Wikipedia) kelak akan saya rangkai menjadi satu-kesatuan yang tidak terpisahkan. Mengenai apakah penamaan Arya itu ada kaitannya dengan ras Arya yang unggul, juga sedang saya telusuri, Insya Allah kelak juga akan saya tulis.
2) Sebagaimana kaidah Bahasa Indonesia yang tidak mengenal dua kata bersambung, maka penulisan Wali Sanga yang benar adalah Wali Sanga, bukan Walisanga, sedangkan membacanya boleh tetap Wali Sanga, tetapi bila ingin kerasa benar Jawanya, maka membacanya Wali Songo. Namun lebih kerasa rasa bahasanya menuliskannya Walisanga, serasa menyatu, menjadi satu kesatuan dan tidak terpisahkan antara wali dan sanga, jadi semacam penulisan Baitullah, meskipun bisa juga ditulis Bait Allah.
Demikian pula dengan penulisan orang tua yang benar adalah orang tua. Hal itu benar bila yang dimaksud orang tua adalah orang yang sudah tua, bisa dipadankan dengan old man atau old woman. Walaupun bila orang tua dimaksudkan sebagai ayah dan ibu, maka sebenarnya lebih pas ditulis orangtua, karena mengacu pada parents yang terjemahannya orangtua = ayah dan ibu.
3) Sebagaimana kaidah bahasa Indonesia, maka penulisan Allah yang benar adalah Allah, sedangkan membacanya (saya mengembalikannya menurut bahasa Arab, karena kata Allah itu berasal dari bahasa Arab) Alloh. Demikian juga dengan rasulullah yang benar adalah rasulullah, sedangkan membacanya rosululloh. Namun bila untuk menambahkan di depan nama seseorang, misalnya Muhammad SAW, maka penulisan yang benar adalah Rasulullah Muhammad SAW.  Demikian pula dengan penulisan Syekh Abdul Qadir Jaelani, Imam Al-Ghazali, dan Ramadhan yang benar adalah Syekh Abdul Qadir Jaelani, Imam Al-Ghazali, dan Ramadhan, sedangkan membacanya Syekh Abdul Qodir Jaelani, Imam Al-Ghozali, dan Romadhon.
*) Penulisan kata aku pada umumnya, dan bisa jadi lebih tepat (baik dan benar = bener tur pener), dipakai pada tulisan fiksi, seperti cerpen, novel, dan sejenisnya, cenderung non ilmiah. Sementara penulisan kata saya pada galibnya dipakai pada tulisan non fiksi, cenderung ilmiah, meskipun yang non fiksi bisa saja ilmiah juga, bahkan bisa saja fiksi justru malah lebih ilmiah dari pada yang non fiksi. Oleh karenanya, penulisan, juga penyebutan/pernyataan, seyogyanya dipakai dengan baik dan benar alias bener tur pener. Sebagai contoh, sebuah kalimat yang tersusun dari kata-kata, bisa saja baik (bener) secara gagasan dan benar (pener) secara kaidah pemilihan kata (diksi) atau SPOK. Namun ada pula sebuah kalimat yang tersusun dari kata-kata, bisa saja baik (bener) secara gagasan, tetapi tidak benar (pener) secara kaidah pemilihan kata (diksi) atau SPOK.
*) Terus terang saya mencontohkan lebih banyak kata atau nama-nama "berbau" Jawa, karena memang saya memfokuskan penulisan mengenai sejarah Jawa. Namun Jawa di sini bermakna luas, artinya Jawa sebagai sebuah bangsa atau orang/manusia, bukan hanya suku atau pulau Jawa, dan makna-makna sempit lain. Pasalnya, bangsa Jawa adalah leluhur mayoritas bangsa Indonesia, bangsa  Nusantara, artinya bangsa yang mendiami Dataran Sunda.
Menurut Wikipedia, secara geologi Dataran (Paparan) Sunda adalah landas kontinen perpanjangan lempeng benua Eurasia di Asia Tenggara. Massa daratan utama antara lain Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Madura, Bali, dan pulau-pulau kecil di sekitarya. Area ini meliputi kawasan seluas 1,85 juta km2. Kedalaman laut dangkal yang membenam paparan ini jarang sekali melebihi 50 meter, dan kebanyakan hanya sedalam kurang dari 20 meter, hal ini mengakibatkan kuatnya erosi dasar laut akibat gelombang laut. Tebing curam bawah laut memisahkan Paparan Sunda dari kepulauan Filipina, Sulawesi, dan Kepulauan Sunda Kecil.
Hal itu karena yang disebut orang Jawa adalah keturunan bangsa Atlantis, bahkan lebih tua lagi yaitu bangsa Lemuria. Oleh karena "kesimpangsiuran" sejarah itulah yang menggelitik saya untuk "bertualang" menelusurinya. Penelusuran berfokus pada siapakah orang pertama yang disebut Jawa, baik secara karakter (sifat) maupun secara geologi berada di pulau Jawa, atau kepulauan Indonesia, atau Atlantis itu. Pasalnya sudah tersiar kabar ilmiah dari dua peneliti Oppenheimer dan Prof. Arysio Santos (2005) sebagaimana kalimat ini: Kontroversi terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia,  tampaknya kini mulai terungkap. Benua Atlantis seperti disebutkan Plato, Filosof Yunani, dalam bukunya Timaeus dan Critias sekitar 2500 tahun silam, dari sudut pandang geologi dan spekulasi ilmiah dewasa ini, sangat mungkin adalah Sunda Land, yang sekarang kita kenal dengan Indonesia Barat (Jawa, Sumatera dan Kalimantan) hingga semenanjung Malaysia dan Thailand.
*) Kaidah bahasa tersebut berlaku akan saya aplikasikan untuk tulisan-tulisan selanjutnya. Mohon do'anya semoga saya bisa. Mohon do'anya semoga aku mampu.
Mohon maaf pada tulisan-tulisan sebelumnya saya masih mencampuradukkan antara kaidah Bahasa Indonesia dengan kaidah kerasa benar. Namun sebagai manusia yang sering kali khilaf, sangat mungkin tulisan saya selanjutnya pun belum memenuhi kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Oleh karenanya bagi Kompasioner, seperti Bapak Johan Wahyudi dan Pembaca yang ahli atau pakar Bahasa Indonesia sumonggo membenarkannya. Terima kasih sebelumnya.
Mari berbahasa Indonesia yang baik dan benar! Salam Indonesia Kita!