Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Perang Paregreg Jilid II: Jokowi-Ahok Vs Foke-Nara?

24 Agustus 2012   04:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:23 2287 1
Tampilnya J0kowi-Ahok di panggung Pilgub DKI Putaran II 2012 sungguh-sungguh fenomenal dan ruarrr biasaaaaa menantang petahana Foke yang berpasangan dengan Nara membuat saya harus menengok ke belakang, ratusan tahun silam kala terjadinya Perang Paregreg yang oleh sejarawan disebut sebagai Perang Suksesi Jawa I.

Perang Peregreg adalah perang antara Majapahit istana barat yang dipimpin Wikramawardhana, melawan istana timur yang dipimpin Bhre Wirabumi. Perang ini terjadi tahun 1404-1406 dan menjadi penyebab utama kemunduran Majapahit yang beragama Hindu-Buddha yang kemudian menandai pula berdirinya Kerajaan Demak Bintoro yang beragama Islam.

Raja Majapahit terakhir, yakni Brawijaya V adalah orang Jawa menikah dengan putri asal China, putri dari Raja Champa. Dari perkawinan itulah lahir Raden Patah yang kemudian hari mendirikan Kerajaan Demak Bintoro atas dukungan Walisongo.

Berikut beberapa analogi yang saya analisis dari sejarah.

*) Analogi dengan Jokowi-Ahok adalah Jokowi sebagai orang Jawa dan Ahok sebagai orang Tionghoa. Walaupun tidak sama persis, bolehlah kita menganalogikan Jokowi-Ahok sebagai Walisongo-Raden Patah, sementara partai politik pengusung mereka yaitu PDIP-Gerindra (Goljok: Golongan Jokowi-Ahok) sebagai Demak Bintoro. Walaupun sebenarnya yang nyaris pas adalah Foke-Nara, karena mereka di pihak Muslim (Islam) sebagaimana Walisongo-Patah dan Demak Bintoro.

Sedangkan Foke-Nara sebagai analogi Dewan Majapahit - Brawijaya V, sementara partai politik pengusung mereka yakni Parpol Koalisi (Golkoal: Golongan Koalisi) sebagai Majapahit.

Dalam Pilgub DKI Putaran II harus ada pemenangnya sebagaimana Demak Bintoro yang menjadi pemenang dalam kisruh "Perang Paregreg" di internal Majapahit itu. Dengan mengabaikan faktor kesukuan dan agama yang ada pada Ahok, dimana Ahok non Muslim dan Tionghoa, dapat pula dianalogikan bahwa Goljok yang dapat diidentikkan dengan Golongan Nasionalis-Religius (Islam Abangan) sebagai Majapahit dan Golkoal yang dapat diidentikkan dengan Golongan Religius-Nasionalis (Islam Putihan) sebagai demak Bintoro.

*) Fenomena ini dapat pula dianalogikan dengan Perang Paregreg itu sendiri. Goljok sebagai Majapahit Timur yang merupakan trah Raden Wijaya hingga Ken Arok yang diteruskan "berkuasa" di Jawa (Pajang-Mataram = Islam Abangan) hingga detik ini. Sementara Golkoal sebagai Majapahit Barat yang bukan trah Raden Wijaya, sehingga dapat pula diidentikkan dengan barat- kiblat = Islam Putihan.

*) Fenomena tersebut dapat pula dianalogikan dengan pergantian Demak Bintoro ke Pajang. Goljok dianalogikan sebagai Islam Abangan sedangkan Golkoal sebagai Islam Putihan. Islam Abangan mendominasi sistem pemerintahan di Nusantara, terutama Jawa, hingga detik ini. Sedangkan Islam Putihan "hanya berkuasa" di masa Demak Bintoro, entah kapan kelompok ini akan "berkuasa" kembali. Bisa jadi pada era Satrio ke-7 (Satrio Piningit Sinisihan Wahyu = Ratu Adil) itulah Islam Putihan "berkuasa".

*) Fenomena Pilgub DKI Putaran II pun nyaris mirip dengan Pilwako Yogyakarta 2011 yang menampilkan tiga pasangan yaitu Hanafi Rais - Tri Harjun Ismaji (Fitri) yang diusung PAN, PD, PPP, Gerindra serta sembilan parpol non parlemen yang tergabung dalam Koalisi Mataram; Haryadi Suyuti - Imam Priyono (Hati) yang diusung PDIP-Golkar; Zuhrif Hudaya - Aulia Reza Bastian yang diusung oleh PKS, Hanura, PKDI, PKPB, dan Partai Republikan Nusantara. Pilwako Jogja 2011 silam dimenangkan oleh Haryadi-Suyuti karena salah satu faktornya PDIP dan Golkar memilih Pro Penetapan Gubernur-Wakil Gubernur DIY.

Sementara PD memilih Pro Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur DIY tentu mendapat resistensi dari masyarakat DIY. Namun dalam Pilwako Jogja 2011 PAN malah berkoalisi dengan PD. Padahal PAN sudah mendominasi di Kota Jogjakarta dengan tampilnya Herry Zudianto sebagai Walikota Jogja dua kali periode. Kang HZ sebenarnya tidak kalah tenar dengan Walikota Solo: Jokowi (Joko Widodo). Keduanya pun sama-sama lahir dan besar di pusat budaya Jawa: Jogja dan Solo. Keduanya pula alumnus universitas kerakyatan: Universitas Gadjah Mada. Keduanya juga sama-sama Muslim. Bedanya Kang HZ identik sebagai orang-nya PAN sedangkan Jokowi identik dengan orang-nya PDIP.

PKS sebelumnya "lebih condong" pada Hanafi-Tri, tetapi mungkin saja ada beberapa tidak kesesuaian kemudian mengajukan calon Zuhrif-Riza. Bila PKS  "tetap" di Hanafi-Tri maka kans Hanafi-Tri menang sangat besar. Kejadian "berulang" ketika Hidayat-Didik diajukan oleh PKS pada PIlgub DKI 2012. Walaupun setelah kalah kemudian bergabung dengan Golkoal sebagaimana perilakunya di level pusat.

Yang agak aneh tentu Gerindra, pada Pilwako Jogja 2011 Gerindra bergabung dengan PD, sedangkan pada Pilgub DKI 2012 Gerindra bergabung dengan PDIP. Namun demikian tentu Gerindra memiliki perhitungan-perhitungan sendiri sehingga melakukan hal itu.

Semuanya tentu wajar-wajar saja dalam politik. Pasalnya dalam politik ada adagium: tidak ada musuh atau kawan abadi, yang ada kepentingan abadi.

Kembali ke Pilgub DKI Jakarta Ronde II, siapakah pemenangnya? Kita saksikan pada 20 September 2012.

Kemenangan Jokowi pada Pilgub DKI kali ini, diprediksi atau digadang-gadang akan terus memuluskan jalannya ke RI-1 kelak atau minimal menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto. Tentu hal inilah yang "ditakutkan" sebagian kalangan Muslim karena dengan demikian Ahok akan tampil sebagai Gubernur DKI Jakarta. Namun bila Jokowi kalah, maka Jokowi akan meneruskan tugasnya sebagai Walikota Solo sembari mencari peluang maju pada Pilgub Jawa Tengah 2013. Walaupun masyarakat pada umumnya enggan memilih sang pekalah.

Entahlah... biarlah waktu yang membuktikan. Wallohu a'lam.....

Salam Indonesia Kita!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun