Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Menulis

27 April 2011   13:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:19 98 0
[caption id="attachment_152811" align="alignnone" width="150" caption="Menulis"][/caption] Kita hidup bukan di dalam komik. Kita hidup dalam skenario Tuhan. Sehebat apapun usaha kita, tetap Tuhan yang menentukan. Kita pelaku bukan penentu. Mustahil bila keberuntungan selalu berpihak pada kita. Berdoa untuk “selalu” mendapatkan yang terbaikpun sebaiknya jangan. Karena inilah warna-warni kehidupan. Seiring dengan proses kedewasaan, masalah datang silih berganti. Satu masalah hilang, seribu lainnya menanti. Menjadi beban pikiran, memang wajar. Tetapi bila kita tanggapi setiap masalah dengan bijaksana, maka yakinlah bahwa unsur positif selalu terkandung didalamnya. Menulis adalah salah satu tanggapan yang tepat. Mungkin sekedar mencari sisi positif dari setiap masalah. Bagi sebagian banyak orang mungkin hal ini patut ditertawakan. Sayapun pernah berpartisipasi untuk ikut menertawakan hal ini. “Hanya menambah beban pikiran saja. Apa pentingnya?” “Saya suka menulis waktu saya merasa kesal, itu seperti bersin yang melegakan.”  [D.H. Lawrence] Memang hanya kutipan pernyataan. Mungkin benar mungkin tidak. Mungkin hanya karangan D.H Lawrence. Tapi bagi saya analogi itu tidak berlebihan. Bersin memang melegakan. Seperti fenomena tenaga dalam. Semua energi dilepaskan hanya dalam sekali hentakan. Setelah itu “plong”. Kembali ke persoalan menulis. Seperti yang diakui D.H. Lawrence bahwa beliau menulis saat merasa kesal. Saya tertarik untuk mencari relevansinya. Tentu relevansi dalam kehidupan saya. Melihat situasi yang melatarbelakanginya, bagi saya ini adalah petunjuk. Petunjuk jalan dari segala kesimpangsiuran pola pikir. Dengan menulis kita bisa merekam seberapa jauh langkah yang sudah kita tempuh. Seberapa banyak keputusan yang telah kita ambil. Seberapa besar manfaat kehadiran kita dalam kehidupan sosio-kultural. Seberapa sering kita tertawa, bahagia, bersedih, menangis, merasa bodoh, malu, egois, angkuh, munafik, kesal, kecewa, marah, benci, dan menyesal. Dan dengan menulislah kita bisa mengerti baik buruknya menjalani hidup. Yakinkan kepada diri kita bahwa semua yang kita lalui menjadi sejarah yang seharusnya tidak untuk dilupakan. Selalu renungi apa yang telah kita lakukan dan lakukanlah apa yang telah kita renungi. Jika kita membuka kembali dan memahami lembaran-lembaran hidup yang telah kita tulis, maka kita akan menyadari bahwa inilah skenario Tuhan yang telah kita jalani. Cukup sampai disitu? Tidak. Masih banyak lembaran kosong yang menanti karena jelas kita tidak akan pernah tahu rencana Tuhan selanjutnya. Hadapilah hidup ini dengan kebesaran jiwa sebagai jawaban atas segala tantangan Tuhan. Maka kita akan tahu bagaimana cara menulis lembaran-lembaran kosong tersebut.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun