Saya adalah seorang mahasiswa, berasal dari Desa Mentajoi sebuah desa di pelosok sungai Tekungai anak sungai Serawai. Desa saya merupakan salah satu desa yang menjadi sentral operasi perusahaan HPH yaitu PT. ALAS KUSUMA. Hal inilah yang menjadi keprihatinan saya, sehingga tergugah untuk membagikan pengalaman kepada para pengunjung blog Kec. Serawai. Dalam tulisan ini, saya ingin memaparkan bagaimana masyarakat desa saya tergiur dengan janji manis perusahaan HPH, yang pada akhirnya merasa dikecewakan. Harapan saya pengalaman ini bisa menjadi pertimbangan kita untuk berani menyuarakan penolakan perusahaan sawit yang saat ini sedang hangat-hangatnya diperbincangkan, terkhusus bagi kita yang katanya merupakan intelektual muda. Dari pengamatan saya, cara yang digunakan perusahaan HPH dengan perusahaan Sawit untuk mengambil hati masyarakat pribumi tidak jauh berbeda yakni dengan mengumbar janji-janji manis. PT Alas Kusuma merupakan salah satu PT yang bergerak di bidang perkayuan yang mulai beroperasi di Kecamatan Serawai khususnya di daerah Merako, Tontang, Mentajoi, dan Desa-desa sekitar sejak 1974 silam. Baru-baru ini kepada masyarakat Desa Mentajoi khususnya, perusahaan ini menjanjikan untuk membangun Gereja dengan bahan bangunan seluruhnya dari kayu ulin dan sebuah jembatan. Janji ini di sampaikan kepada masyarakat untuk dapat beroperasi di Lahan baru, Lahan yang masih “Perawan”. Dengan segala keterbatasan pemikirannya masyarakat berhasil dibodohi perusahaan dengan hasil yang sangat mengecewakan. Gereja dibangun tidak sesuai dengan kesepakatan, begitu juga halnya dengan Jembatan. Lebih parah lagi Pembangunan Gereja dan Jembatan ini pun sepertinya dilakukan perusahaan dengan terpaksa. Karena janji ini baru dipenuhi setelah melalui diskusi-diskusi yang panjang, lebih picik-nya lagi perusahaan baru mau duduk berdiskusi dengan masyarakat setelah masyarakat menghentikan Operasi perusahaan, Bahasa trennya dalam masyarakat “Magar Jalan”. Jauh sebelum ini, sebetulnya masyarakat sudah sering dibohongi Perusahaan, namun karena cara picik yang digunakan perusahaan, ditambah lagi keterbatasan pemikiran masyarakat akhirnya masyarakat berhasil dibodohi. Misalnya, perusahaan menjanjikan untuk membangun Asrama dikecamatan serawai untuk anak-anak yang ingin bersekolah, Penerangan, Air Bersih, Lowongan perkerjaan dll. Nyatanya hingga kini nyaris tidak satupun janji ditepati. Padahal lahan yang diminta perusahaan kini sudah hampir selesai digunduli, sementara janji tinggal janji. Belajar dari pengalaman desa saya, apakah kita percaya begitu saja dengan janji-janji manis perusahaan sawit dan membiarkan mereka beroperasi?. Saya berpendapat tidak akan jauh Berbeda dengan Janji yang di tawarkan perusahaan HPH kepada desa saya. Diluar dampak-dampak yang ditimbulkan dari operasi perisahaan sawit ini, mari kita pertimbangankan tentang janji yang mereka tawarkan.
Janji untuk membuka akses jalan, apakah sebanding dengan kerusakan hutan yang akan kita alami. Menurut saya akses jalan bisa kita dapatkan dengan cara lain, tanpa harus mengorbankan Kesuburan dan kekayaan alam kita. Caranya antara lain melalui pendidikan, fokus untuk mengembangkan pendidikan dan berikan kesempatan kepada anak-anak muda untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, agar kelak dapat bahu membahu memasuki dunia politik atau bidang-bidang lain untuk memperbaiki kebobrokan pemerintah yang terkesan pilih kasih. Dipulau Jawa misalnya, tidak ada lahan sawit, tetapi mereka memiliki jalan yang baik. Sementara di Kalimantan tidak ada akses jalan penghubung antar provinsi apalagi jalan kepelosok seperti serawai dan daerah-daerah pelosok lainnya.
Janji untuk menyediakan lowongan pekerjaan, Sumber daya manusia kita belum cukup mampu bersaing. Mungkin kita atau beberapa saudara kita bisa dipakai perusahaan dibeberapa departemen baik menjadi staf maupun pimpinan. Bagaimana dengan yang lainnya, apakah kita bisa tidur nyenyak menyaksikan saudara-saudara kita menjadi kuli sawit ditanahnya sendiri, sementara para pendatang menjadi raja. “Si Kuli adalah si Pemilik lahan” inilah kesimpulan dari berbagai kesaksian yang saya baca dari artikel-artikel dan tentang Perusahaan Sawit. Untuk para pembaca tulisan ini, mari kita bahu membahu dengan cara-cara yang dapat kita lakukan untuk menyuarakan Penolakan Sawit. Meskipun kondisinya sekarang sawit sudah memulai Operasi, apabila kita mau berusaha tidak ada kata terlambat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Kades-Kades sudah makan uang Perusahaan dan memberikan tanda tangannnya yang sangat berharga itu untuk mengatasnamakan masyarakat bahwa masyarakat menerima sawit. Tapi yakinlah masyarakat sebenarnya memiliki hati nurani yang baik, jauh dilubuk hati mereka juga sama seperti kita yaitu tidak setuju dengan sawit. Permasalahannya adalah mereka masih memiliki banyak keterbatasan untuk menyuarakannya. Beberapa hal yang dapat kita lakukan adalah berikan pemahan kepada mereka untuk tidak menyerahkan lahannya kepada perusahaan, beri mereka keyakinan tentang dampak negatif sawit. Saya juga pernah mendapatkan curhatan seorang warga di Desa Tontang yang memiliki tanah cukup luas, bagaimana ngototnya orang-orang perusahaan dalam menggoda masyarakat untuk menyerahkan tanahnya. Di akhir perbincangan Orang tersebut berkata seperti ini:
“Ihkam cok sokulah tuh noh cok kongarap kai juoi tuh rih, yarok taan kai titui ngolaban cok ihkai tuh holu poh karas huang kai nolak sawit hion ulun tapi yarok cok taan kai titui kesah ah bohkolo” . (bahasa Dayak Uud Danum ) arti:
"kalian yang sekolah inilah yang diharapkan kami-kami di kampung pedalaman untuk melawan meskipun besar niat kami untuk menolak sawit, karena walau bagaimanapun kami ini tidak mengerti apa-apa dan tidak tahu caranya bagaimana." (ungkapan masyarakat pedalaman Kec. Serawai-Ambalau) [tulisan ini dikirim oleh Albinus Marsudi (Jahpung) yang di masukkan dalam blog kecserawai.blogspot.com]
KEMBALI KE ARTIKEL