Indonesia, negeri dengan jutaan orang pinter dan intelek. Secara teknologi, kata para cendekiawan, Indonesia mampu membuat apa saja, saking pandainya orang Indonesia. Misanya, soal peningkatan hasil padi. Indonesia mampu mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri, bahkan bisa mengekspor, walau lahan semakin menyempit. (Cuma, katanya, Bulog atau Deptan gak mau. Enakan impor dari Vietnam. Kenapa? Karena dapat komisi. Enak dan gampang....walah).
Dalam soal haji, Indonsia, dengan jumlah jamaah haji terbesar di dunia, dan dengan sistem tabung (nunggu kuota) pasti dana abadi gede, tapi ongkos haji selalu habis dipakai. Sehingga tahun berikutnya dihitung dari awal lagi. Kenapa gak menggunakan dana abadi saja untuk nambah modal? Gak bisa dikorupsi nanti...dan banyak conto-contoh dari para cendekia Indonesia yang saya dengar. Padahal kita bisa, namun tidak mau. Karena dengan serba mudah dan canggih para oknum tidak bisa mendapat kebagian jatah. walah... (tapi itu wallhu A'lam).
Saya hanya ingin menatakan bahwa sebenarnya Indonesia juga bisa dan mampu dalam mengurus carut-marut persoalan TKI/TKW sejak dari hulu hingga hilir sehingga dapa meminimalisir ekses yang diderita oleh bangsa maupun oleh TKI/TKW tersebut. Saya hanya mengambil contoh Filipina yang berhasil mengirim tenaga kerjanya, baik laki-laki maupun perempuan ke luar negeri. Sudah maklum, kalau TK Filipina lebih terampil dan dibekali keahlian yang mumpuni atau sesuai dengan bidang mereka sehingga memuaskan kedua belah pihak (majikan, tenaga kerja dan juga pemerintah).
Filipina mempunyai lembaga satu atap dalam meloloskan seorang calon TK ke LN. Namanya TESDA (Tecknical Education and Skills Development Authority).  TESDA didirikan pada masa Presiden Fidel Ramos, tepat pada Agustus1994 yang bertujuan untuk memfasilitasi dan memobilisasi semuasektor  industri, tenaga kerja dan unit-unit pemerintah dan institusi dalam pembangunan skill SDM masyarakat. Organ seperti itu, dengan sistem yang ketat dan hanya satu atap yang bisa meloloskan seorang calon tenaga kerja layak atau tidak untuk bekerja di luar negeri, sehingga hasilnya pun memuaskan semua pihak (majikan dan juga pemerintah, bahkan tenaga kerja karena bargaining position mereka menjadi tinggi) sehingga 'sum'ah=image atau citra negara menjadi baik di mata negara tujuan TKI/TKW.
Saya jadi teringat pengantar diatas, omongan para cendekia bahwa sebenarnya Indonesia juga mampu dan ngerti soal itu. Namun, lagi-lagi, tidak mau. Karena kalau itu diterapkan, oknumnya tidak medapat/kebagian jatah. walah...Â
Salam sedih dech...,