[caption id="attachment_199870" align="aligncenter" width="300" caption="
http://sesejukhatiibu.files.wordpress.com/2010/03/bali-rice-farmer1.jpg"][/caption]  Kompas epaper hari ini (20/7) menulis di halaman muka dengan judul, "Petani Masih Kebingungan" dengan gambar seorang pertani bernama Suyadi (55) sedang memeriksa tanaman padinya yang gagal panen karena diserang wereng di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Diperkirakan gagal panen di Kabupaten tersebut lebih dari 195 ha sawah dan juga mengancam sebanyak 1.335 ha lainnya. Belum lagi dikawasan lain di tanah air yang juga gagal panen. Dalam uraiannya kompas menulis, "Kegagalan panen akibat banjir dan serangan hama kian sering terjadi dan petani pun semakin bingung menyikapinya. Padahal, mereka memahami bahwa penyebabnya adalah anomali cuaca dan perubahan iklim". Bisa dipahami dari uraian diatas bahwa akibat gagal panen yang mengancam para petani tersebut disebabkan oleh usikan alam. Bukan akibat ulah manusia. Padahal sejak pemerintah orde baru memperkenalkan bibit padi PB 5 pada tahun 1975-an dengan memicu panen 3 kali dalam setahun dan secara massif penggunaan pupuk urea dan pupuk non-organik lainnya telah merusak tanah di areal persawahan yang membentang di Pulau jawa dan nusantara. Gulma-gulma, ikan kecil, cacing, siput dsb semuanya mati dan menghilang dari tanah persawahan akibat racun dari pupuk (sebenarnya bukan pupuk, namun racun) urea tersebut. Akibatnya, adalah muncul musuh utama petani berupa wereng, tikus dan keong emas yang tidak bisa ditahan. Sehingga selama ini -dan sudah berjalan puluhan tahun - petani selalu rugi, walaupun mereka sempat panen, namun tidak seberapa keuntungan yang mereka peroleh. Beaya produksi lebih besar ketimbang hasil panen. Dapat dipastikan artinya, bahwa gagal panen selama yang dirasakan oleh para petani adalah akibat "ULAH MANUSIA" yang serakah. Belum lagi, hutang para petani secara ijon menggunakan pupuk yang diwajibkan oleh aparat pedesaan lewat KUD pada masa itu, dan hingga kini juga demikian, tidak beda, cuma ganti kulit doang, tetap memberatkan petani. Mereka menghutang pada tengkulak atau aparat, dan nanti dibayar ketika panen. Namun, bila panennya berhasil, biasanya hanya kelebihan sedikit, bisa membayar hutang pupuknya. Tapi, tidak jarang juga gagal panen terutama melawan wereng, keong emas dan tikus - yang akibat ulah manusia yang rakus memicu produksi - akibatnya ditanggung menjadi penghutang secara turun temurun. Bisa dikatakan, petani sudah jatuh ketimpa tangga pula lagi. Ambrukkkk... Ungtungnya walau dengan kondisi demikian, petani karena setia pada profesinya, masih mau bertani lagi. Bila mereka ngambek (dalam logat Betawi, artinya,marah,), tidak mau bertani, sungguh runyem negara yang pada waktu sukses panen saja masih mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand. Kata petani, 'emangnya gue pikirin. Enak di elu gak enak di gue'. Giliran gabah atau beras naik dikit, dunia, ehh...Indonesia  ribut seolah-olah petani gak boleh kaya. Semua media menulis dan memberitakan kenaikan beras. Padahal yang menaggok untung besar adalah para kapitalis besar yang memanfaatkan memancing di air keruh. Kalau petani pada ngambek?? emang enakkkkk....!!! Salam,
KEMBALI KE ARTIKEL