Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Derita Rakyat Libya Pasca Lengsernya Kol. Gaddafi

23 September 2014   00:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:54 980 0
Sebagai salah seorang yang pernah tinggal di Tripoli, Libya hampir tiga tahun lebih di era Pemimpin Al-Qaid Kol. Muammar Gaddafi saya merasakan betapa tidak stabilnya negara kaya minyak di Afrika Utara tersebut. Betapa tidak? Pasca lengsernya Gaddafi oleh konspirasi Barat atas nama oposisi Libya rakyat Libya tidak merasakan kedamaian akibat situasi yang mirip perang saudara di dalam negeri. Cukup banyak sudah  saya tulis di blog keroyokan ini mengenai perkembangan hal tersebut.

Sepanjang pantauan saya melalui media Libya yang terbit di London, kerusuhan dan bahkan kontak senjata serta pembunuhan tokoh-tokoh Libya seringkali terjadi. Bukan saja di kalangan sipil namun juga terjadi di kalangan militer. Konflik politik dalam negeri juga tidak kalah seru. Pertarungan elit politik Libya merebut kekuasaan melalui parlemen menyisakan derita tersebut. Dimana akibat perbedaan pandangan dan visi politik gedung parlemen diberondong oleh kelompok-kelompok yang tidak sejalan dengan visi mereka. Munculnya kekerasan demi kekerasan di dalam negeri, bahkan terjadi terhadap diplomat asing setingkat AS, negara adikuasa di dunia sekalipun tidak luput dari pembunuhan tersebut. Bahkan Dubes AS yang dibunuh di luar negara konflik adalah pembunuhan Dubesnya di Libya.

Akibat konflik juga melanda tempat-tempat strategis seperti Bandara Udara Tripoli. Urat nadi penerbangan internasional Libya sempat terjadi baku tembak antara pemerintah dengan kelompok-kelompok tertentu. Kelompok ini disinyalir adalah militan Islam yang ingin menguasai negara. Mereka memang selama ini adalah kelompok yang paling berjasa dalam rangka melengserkan Kol. Gaddafi yang diperalat oleh Barat. Namun, ketika tugas mereka berhasil, Barat ingin melucutkan senjata dari tangan mereka yang tentu saja mendapat perlawanan. Kelompok ini bahkan menguasai urat nadi perekonomian negara seperti pelabuhan ekspor minyak dan tempat-tempat strategis lainnya.

Akibatnya suasana tidak aman dan tidak nyaman muncul dimana-mana. Akhirnya, memang muncul mantan petinggi militer seperti Jenderal Haftar yang menumpas mereka. Namun di tengah lemahnya pemerintahan situasi chaos tetap saja masih menyelimuti negera kaya minyak tersebut. Bahkan, KBRI kita di Tripoli yang terletak di kawasan perbatasan Ganjour tidak dapat ditempati dan akhirnya diungsikan ke Tunisia, tepatnya di Pulau Jerba, Tunis. Sebuah pulau turis, seperti Balinya Tunisia, yang terletak di perbatasan Libya-Tunisia. (Catatan, pada waktu terjadi kerusuhan politik menggulingkan Gaddafi, KBRI Tunisia juga menggunakan fasilitas di Pulau tersebut sebagai tempat evakuasi WNI dan saya merasakannya ketika itu dalam rangka evakuasi dari Libya via Tunisia dan kemudian dipulangkan ke Jakarta). Bahkan, wisma Dubes tidak luput dari kengerian ledakan bom yang kita tidak tahu asal usulnya. Suatu kejadian yang belum pernah terjadi pada waktu krisis politik penggulingan Gaddafi sehingga Dubes RI pada saat itu tetap tinggal di wisma Dubes. Namun dimasa Dubes Raudin Anwar (sekarang) beliau sempat tinggal di KBRI karena alasan keamanaan dan saat ini pindah ke pulau Jerba di Tunisia. Hal ini tentu saja mengindikasikan betapa tidak amannya situasi dalam negeri Libya yang suatu waktu bisa saja kita menjadi korban situasi tersebut.

Bahkan belum lama ini salah seorang ulama dan imam masjid di Tripoli ditembak oleh dua orang bersenjata tidak dikenal setelah selesai memimpin shalat Isya di masjid tersebut. Sheikh Nabil Sathi, nama ulama tersebut menghembuskan nafas terakhirnya di perjalanan ke rumah sakit akibat peluru yang menembus di tubuhnya. Dan banyak lagi peristiwa pembunuhan lainnya yang banyak terjadi. Di zaman Kol. Gaddafi masih berkuasa tentu saja situasi seperti ini tidak terjadi karena kuatnya kekuasaan Sang Pemimpin. Memang banyak dari kalangan oposisi yang dipenjarakan akibat tidak sejalan atau menentang kebijakan Sang Pemimpin. Tentu saja ini untuk kepentingan rakyat. Memang terbukti, dan banyak dirasakan oleh warga asig sekalipun, bahwa pada masa itu pemerintah memberikan berbagai subisidi dalam berbagai bentuk baik yang berupa subsidi sembako, BBM, maupun langsung bagi penduduk Libya dan angkatan kerja. Sebagai orang asing saya merasakan betapa murahnya makanan pokok yang kita konsumsi sehari-hari yang membuat kita bisa saving sehingga pundi-pundi tabungan kita semakin besar. Berbeda halnya dengan pendapatan di tanah air yang hampir semuanya kena pajak, termasuk 'pajak liar', preman maksudnya.

Tapi, memang sangat disayangkan negara-negara yang terkena Arab Spring tidak luput dari situasi kekisruhan kecuali Mesir yang saat ini kembali dikemudikan oleh militer yang rasanya lebih kondusif ketimbang sebelumnya dipimpin oleh Presiden sipil hasil pemilu rakyat. Tunisia juga tidak lebih baik situasinya dari Libya dimana konflik internal masih saja terjadi. Fakta ini mengajarkan kita - bangsa Indonesia - tidak mudah untuk meraih itu semua. Jalan demokrasi yang sangat mahal dibayar oleh rakyat karena anggaran pemilu dari hutang LN harus ditanggung rakyat, namun sangat disayangkan para elit politik justru mencari kekuasaan tanpa adanya moralitas. Contoh kecilnya adalah bagaimana ulah mereka mengembalikan kepercayaan rakyat dengan secara langsung memilih pemimpnnya di daerah dikembalikan ke masa orba yang selama ini dilawan. Berbagai argumentasi yang 'nyeleneh' dan absurdpun akhirnya dipertontonkan ke publik, yang menurut saya sebuah adegan kemunafikan. Dan ini juga dilakukan oleh parpol dakwah yang mengusung perjuangan Islam.

Saya teringat ungkapan Sheikh Ibnu Taymiyah yang mengatakan bahwa pemimpin yang otoriter tapi adil dan mensejahterakan lebih baik dari pada pemimpin lemah yang demokratis namun tidak adil dan tidak mensejahterakan. Wallahu A'lam.

salam damai,

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun