Tentu sebagai stakeholder merasa gembira berkenaan dengan penghentian penerapan yang sudah dilaksanakan oleh sekolah, khususnya sekolah negeri. Saya mempunyai pengalaman masalah ini. Karena salah seorang anak saya sekolah/belajar di tingkat SMA (Madrasah Aliyah) modern yang berada dibawah Kementerian Agama di Bogor. Di saat ituĀ di seluruh sekolah di Jakarta (DKI) sudah menerapkan K-2013, baik yang dibawah Diknas maupun Kemenag, tapi sekolah-sekolah dibawah KemenagĀ di daerah belum menerapkan hal tersebut. Ini fakta yang ada. Jadi penerapan K-2013 belum merata. Jangankan di sekolah yang berada di bawah Kemenag, yang dibawah Dikbud saja belum semuanya menerapkan, terutama di daerah. Di DKI Jakarta saat ini, khususnya yang belajar di kelas IX (setara 3 SMP) masih menerapkan urikulum 2006 yaitu Kurikulum KTSP, sedangkan kelas VII dan VIII sudah menerapkan K-2013. Sehingga terkesan aut-autan alias berantakan. Pengalaman saya ketika anak tersebut mau mutasi ke Jakarta tidak diterima untuk ikut tes (bukan diterima masuk, padahal hanya untuk ikut tes doang) di semua SMAN. Alasannya, karena sekolahnya masih menggunakan kurikulum KTSP. Walau ada sekolah ngetop yang membolehkan untuk ikut tes karena ada peraturan dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI. Mungkin sekolah lain walau SMAN Favorit masih banyak yang belum tahu atau bagaimana karena alasannya nanti harus ada matrikulasi dan lain sebagainya. Kami hanya mengatakan bahwa itu bukan kesalahan kami sebagai stakeholder. Itu kesalahan pemerintah, khususnya Diknas (Kemendikbud) yang tergesa-gesa menerapkan K-2013 tanpa sosialisasi yang memadai dan memberlakukan K-2013 itu secara cepat dan segera seakan mengejar pergantian Kabinat sebelum dicopot dan Kemenag yang lambat menerapkan kebijakan Diknas tersebut; dan banyak persoalan lainnya.
Disini saya dan juga yang lain mencium ada aroma tak sedap dalam berbagai hal tentang K-2013 khususnya penerapannya yang serba kebut, ada apa dibaliknya. Ini yang harus diusut oleh KPK. Siapapun yang bersalah harus menerima resiko dan tanggungjawabnya. Karena telah merugikan jutaan pengguna K-2013, baik murid maupun wali murid. Selain itu, biaya yang sia-sia habis begitu saja tanpa terorganisir dengan baik, baik pelatihan guru, distribusi buku ajar, penulisan buku ajar yang dikebut dan lain-lain sebagaimana pengakuan Dr. Haidar Bagir di kolom harian Kompas (4/12) sebagai salah seorang penulis K-2013 untuk SD yang mengatakan bahwa masih ada yang baik walaupun banyak yang kurang baik dari K-2013 tersebut dan lain sebagainya yang masih karut marut. Sudah berapa uang rakyat (negara) yang dihabiskan untuk itu namun hasilnya karut marut.
Saya sangat setuju dengan langkah Mendikdasmenbud Anies Baswedan yang menghentikan penggunaan K-2013 dan kembali ke Kurikulum KTSP. Tinggal sekarang Pak Menteri Anies membentuk Tim lagi untuk mengusut dalang dibalik K-2013. Siapapun yang terlibat harus mempertanggungjawabkan kesalahannya. Ayo KPK juga bergerak, dan LSM, PGRI serta elemen masyarakat peduli pendidikan lainnya.
salam damai,
Persoalan lain yang sebetulnya menjadi pertanyaan adalah soal tergesa-gesanya