dan daun kayu manis yang terluka
ketika seorang gadis menyapa:
Boleh aku duduk di sebelahmu?
Ia tersenyum.
Artifisial, tapi menarik.
Aku mengangguk.
Pukul sepuluh malam.
Penyanyi di kelab malam itu masih terus bernyanyi.
Sudah serak suaranya sekarang.
Aku melirik kepada persoalan-persoalanku.
Gadis itu melirikku, seperti ingin bicara,
tetapi sadar dalam kebisingan suaranya tak akan terdengar.
Ia adalah jenis perempuan yang kuduga
punya keberanian tak terduga.
Ia adalah jenis perempuan yang mungkin aku cintai
jika hari ini adalah masa lalu.
Ditunjukkannya secarik kertas.
Boleh saya bercerita?
Aku mengangguk.
Ia tersenyum.
Artifisial, tapi menarik.
Ia mendekat. Parfumnya aroma melati, seperti yang menenteramkanku, di Jogja dulu.
Panjang ia bercerita. Berlembar kertas dihabiskannya. Ia seperti telah mempersiapkan suatu perjumpaan yang seperti ini. Kuringkas saja ceritanya:
Aku adalah ulat yang gagal menjadi kupu-kupu
Maukah kau mengelupas kepompongku?
Engkau tahu adat lelaki,
selalu ingin terlihat bijaksana dalam situasi begini
selalu ingin jadi pahlawan, tetapi bukan pahlawan yang mati berkorban
melainkan pahlawan yang mabuk kemenangan.
Aku kini menatapnya. Sekali itu, aku ingin terlihat dewasa.
Matanya teduh artifisial. Seperti danau buatan di kompleks perumahan mahal.
Dalam hati aku bertanya, kepompongnya di sebelah mana?
Kepada gadis itu ingin aku berkata
bahwa gagal menjadi kupu-kupu adalah persoalan
yang dialami banyak perempuan.
Bahwa di pekaranganku banyak kepompong berserakan
bahwa aku telah banyak menyaksikan kupu-kupu berjatuhan.
Bukan karena tak sanggup terbang
melainkan karena tak sanggup menari
di bawah sinar matahari.
Mungkin karena banyak perempuan
tak tuntas memahami gelapnya kepompong.
Tetapi aku ternyata diam saja dan
kembali terperangkap di antara aroma sekam terbakar
dan daun kayu manis yang terluka
yang berasal dari kebun-kebun di masa lalu
masa lalu yang kuklaim sebagai masa lalu kita.
Aku mencari-carimu pada diri perempuan itu.
Aku meraba hingga ke dalam pikiran, detak jantung, dan aliran darahnya.
Aku seperti melihat bagian ulatmu bermetamorfosis menjadi kupu-kupu di sana.
Kupu-kupu itu menari-nari di bawah sinar matahari
lalu menghilang di Jogja yang tenteram.
Ya, kadang-kadang bagiku Jogja adalah sebuah persoalan.
Aroma sekam terbakar dan daun kayu manis yang terluka adalah persoalan.
Kepompong yang berserakan di pekarangan adalah sebuah persoalan.
Keindahan pada kupu-kupumu adalah sebuah persoalan.
Aku melirik pada jarum jam: pukul sembilan malam.
Penyanyi di kelab malam itu menyanyikan lagu-lagu yang asing.
Tak satu pun berasal dari memoriku.
Aku melirik kepada persoalan-persoalanku dan mulai ragu.
Haruskah aku menunggu pukul sepuluh malam
ketika seorang gadis menyapa:
Boleh aku duduk di sebelahmu?