Ya, gonjang-ganjing adalah suatu ungkapan dalam bahasa Jawa. Pada satu kamus Jawa-Belanda, gonjang-ganjing diartikan sebagai wiegelen (bergoyang) atau schommelen (berayun) (Pigeaud, 1938). Pada kamus Jawa-Indonesia kata itu diartikan sebagai goyang; selalu bergerak-gerak (Nardiati dkk, 1993).
Serasa sudah lama orang yang pernah bersentuhan dengan Jawa mendengar kata gonjang-ganjing. Akan tetapi, sebagai anggota bahasa Indonesia, usianya belumlah lama. Ketika Klinkert (1902) mencantumkan kata-kata Jawa -- seperti awet, babad, baboe, badjing, batjin, bareng, batok, berandal, gosong, tabok, tameng, tawon, terawang, dan banyak kata lain -- gonjang-ganjing tidak diikutkan. Ketika Poerwadarminta (1954) menyertakan banyak kata Jawa -- seperti babon, babut, berangasan, dengkul, djadjal, gondol, gotri, dan lain-lain -- dalam kamus disusunnya, gonjang-ganjing tidak disertakan. Bahkan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tahun 2008 -- lebih dari 10 tahun semenjak lagu  17 Juli 1996 didendangkan -- gonjang-ganjing pun belum ada. Barulah pada KBBI pada versi yang lebih baru gonjang-ganjing diberi tempat.
Tak sekadar bergoyang atau berayun, di rumah barunya gonjang-ganjing diberi makna yang lebih garang: berguncang-guncang keras. Ini suatu makna yang sepertinya lebih sesuai dengan "bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap," yang dilantangkan para dalang sesaat sebelum memasuki babak gara-gara dalam pertunjukan wayang.