Amatilah perhelatan musim hujan di sekeliling kita, di sana, kan kautemukan ilalang hijau, tumbuh bersama rima panggilannya, kerelaan mendedikasikan diri kepada sekawanan anak rusa, tak terkecuali batinku merasa, seakan-akan menyetarakan haru yang muskil terperi, merasuki kesejatian alam yang setia merinaikan imaji, menarah di bingkahan tanah, aroma rambut akar dengan serimbun butiran air, demi imaji menujum takdir alam, demikianlah terkias purna, persembahan pesan bertabir persaudaraan abadi, tiada sunyi memisah jarak dataran kersang , angin bagas sangar berilusi, sanggar kemarau berhias semu, hiasan pelataran dedaunan meringkai, berujungjawaban damai meneduhkan, di bawah lengkung langit yang sama, di atas balai astaka perkataan yang sama, teduh melintas bagi syair–syair luhur di lenting dawai reranting, melantaskan kemenjadian diri seribu hulu, jiwa-jiwa di punca hulu turun-temurun, menenun anyaman buliran makna-makna kehidupan - senantiasalah berkelindan sampai ke hilir - keberadaan dalam diam keteladanan nan menawan, mengairi renungan yang meniti kesangatan lelah, dan melandaikan kelelahan ke dasar relung hati, nan tulus terpaut erat, nalar yang tersagang di bubungan kokoh dan erat berkhidmat baiat, nan mengusung-hantarkan helai-helai dedaunan berkanvas semesta menjiwai, demikianlah jiwa besar berkehendak, senyata ketidak-relaan kita membiar dari mata nurani, senyata menderaikansujud-pasrah terbentang dengan kualitasnya yang kirana, seperti berdiri tegak para penuturterutus mendaraskan cipta mahakreasi,tertutur tanpatirai yang merantai ragu dan ragu deras mendera, murni bercahaya takjub siapapun mereka dalam naungan Khalikul Alam - memang laik bermuasalkan kelemahan, agar kebenaran takkan terluput maksuddan hikmah sebuah proses – karnanya tiada pantas kuanulir penebusan kebaikan sahabat-sahabat, meski tidaklah setiap episode pengingkaran terus menggerus mata cekung, meratapi letih tungkai dan jemari dengan; sebaris bahasa dekadensi hari ke hari melinangi dengan; gentar, malu-malu, dan setengah hati menitiskan keagungan nilai-nilai melalui kekuatan menginspirasi, seperti memisahkan anugerah kehidupan dari ceruk kematian, saat aliran air bening memangku pengorbanannya bagi siapa saja, pangkuan riak kecil mengayunkan impian, ke jalan perintisan berwarangka kemustian melarik, bermandikan sajak-sajak syahdu gemerencik, bermadah nafiri puisi-puisi epik, hingga dia tidak lagi tersulut gamang, darimana asal-muasal jantungmu berdetak; hingga keraguanmu tidak lagi terhirau, mengapa kodrat alamlah mengembalikan daging dan darahnya, sebab haribaan itu tak meretak menyebarkan celah sekecil apapun, rapuh tergiur harga silih kepada siapapun, “Jangan beri aku tanya lagi, bagaimana bahasa jiwa direbahkan di antara ruang dan waktu, seketika kaki berjejakkan mozaik kerang emas, pandangan terpaku geta-geta dinasti, bantal bulu angsa dan lelangit tertabur berlian, jika sesungguhnya adalah lafal kita yang berbeda semenjak menara kedigdayaan dipraharakan selama berabad-abad, maka tiada yang lebih laik diamati dengan sebenar-benarnya selain jati diri ilalang melalui keakuan, karna ini tentang perjalanan, Sobat..., teruslah, terus berjuang, hingga nirwana keakuan kita bukanlah lagi tujuan.”