-
Suatu hari, saat senja segera bergegas menyambut malam, ayah memanggilku. Kami duduk berdua di bangku taman yang tersedia di teras rumah. Bagiku, inilah pembicaraan antara dua laki-laki yang selalu ku kenang. Ayah awali dengan sidikan, "Mari bertanya, mengapa ada perbedaan laki-laki dan perempuan? Apakah hanya seks jawabannya? Lalu, apakah kita anggap seks itu sebagai suatu kenistaan, kotor, dosa kutukan dan itu semua adalah wanita? Atau sebaliknya sebagai anugerah yang dipercayakan Allah? Mengapa ayah mau mendiskusikan hal ini ke kamu?" Dalam hati, "Dug, matilah aku. Pasti gara-gara tape itu. Ayah selalu mampu membaca pikiran, dan menyampaikan pesan-pesan sederhana berdialog, tanpa menyinggung langsung permasalahanku. Pertanyaan dan jawaban disatukan dalam pesan. Tapi selalu meneduhkan, karena ia tak pernah menyimpan suara tutur kebapaannya yang tertata perlahan-lahan. Mudah-mudahan saja kali ini, isi rekaman itu tidak dibahas rinci".
-
Lanjutnya, "Kondrad, ayah bangga melihat kamu begitu cepat mencerna seluruh pelajaran hidup yang ayah-ibu berikan. Kamu terlalu cepat dewasa dibandingkan teman-teman sebayamu. Ayah selalu tersenyum sendiri melihat cara kamu menertawakan kehidupan. Namun akan tiba saatnya nanti, matamu akan melihat peran manusia berantagonis bertaburan, dan kenyataan yang sering berparadoks. Senang sedih semudah sandiwara, dan, persis seperti maling teriak maling. Begini, kalau ayah sebut "selalu" atau "cenderung", tidak berarti mutlak yah. Nah, wanita akan selalu bahasakan seks sejauh pancaran inner beauty di dirinya. Ia mau menerima dan berdiri di atas eksistensinya, atau pendirian di atas kenyataan apa adanya. Tahu khan maksud ayah tentang inner beauty? tidak hanya tampilan luar dan fisik saja. Nah, kita? Kita cenderung menghakimi birahi, libido, untuk dunia luar. Semata-mata demi benteng kesucian, kehormatan, kebesaran dan keagungan diri, lewat kata-kata yang dilemparkan ke muka orang lain. Semakin kasar, keras, sinis, kita semakin mencuri kemuliaan itu dari langit. Seakan-akan beralasan, kemegahan itu datang daripadaNya. Surga di tanganku, neraka buat orang lain. Tetapi adalah kenyataan, kita tidak menerima dan lari dari eksistensi diri. Semakin menjauhkan seks, semakin membelahkan jiwa. Mungkinkah ada kesucian diri dengan pribadi yang retak terpecah-belah?
-
Kamu sudah belajar khan di sekolah, arti cinta eros, philia dan agape? Raungan eros itu kadang-kadang seperti ayunan nada melengking tinggi di musik blues. Menyayat hati. Sekarang ayah mau masuk ke urusan cinta. Dulu, ayah lagi senang-senangnya musik Mozart. Tapi dia pernah katakan seperti ini. Bukan tingkat inlelegensia atau imajinasi tinggi yang menentukan kecerdasan seseorang. Cinta, cinta, cinta, itulah sesungguhnya jiwa dan kecerdasan*. Kamu pasti berpikir, ini seolah-olah berbicara tentang perbedaan identik antara laki-laki dan perempuan. Tidak, ini bukan persoalan perbedaan. Maksud ayah adalah, seks dengan segala disiplin ilmu, juga memerlukan kaca-kaca sublimasi. Semakin tinggi kaca-kaca kreasi atau rekonstruksi makna terhadap wanita, pengertian seks, semakin kita menyadari, inilah jawaban-jawaban mengapa Tuhan mendesain perbedaan. Anugerah perbedaan itu adalah cinta. Demikian juga dengan perbedaan iman atau keyakinan. Sebab, semua yang ayah bicarakan ini adalah bahasa karunia-karunia Allah. Maka bahasakan seksualitas itu juga sebagai ucapan syukur. Penuhi kanvasnya dalam proses penyucian diri dengan pujian-pujian kepada Allah, jauh ke dasar hati. Inilah sebenarnya proses, cara kerja penyucian diri, yang bisa kita kembalikan sebagai tanda syukur menjawab manah Allah. Bajumu akan putih dan bercahaya, pada saat kuas hati dan pikiranmu harmonikan detail warna-warni alam kehidupan. Oops, sudah hampir malam, Kondrad. Kamu buatin ayah kopi yah, besok kita lanjutkan lagi". "Oke ayah", mulutku dingin dan kaku. Pikiran mengembara di dinding-dinding lorong buana senja.
-
Sang kala remahkan pijaran jingga
Cakrawala berpagar garisgaris merah saga
Terjura sambutan melabuhkan sang surya
Terlempar aku dalam pengantar kacakaca
Terima kasih ayah angkatku.
Catatan : Penggalan cerita prosa tentang pengalaman bersama ayah dan ibu angkat.
*)Ricard Pratama, Kata-Kata Motivasi Pembakar Semangat, hal.80.