Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Perdamaian? Satu Kamu Berarti Bagi Semua

29 Agustus 2010   02:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:37 90 0




Pertanyaan Renungan


Sungguh lelah berjalan dengan waktu. Besok adalah hari lalu. Lusa adalah sejarah. Tahun demi tahun, wajah jaman tetap sama. Siapa aku sebenarnya? Siapa kamu sebenarnya? Siapa kita dan mereka sebenarnya? Berubah ubah mengikuti gerak roda jaman. Lebih baik aku menjawab, aku adalah kotak kosong. Ambillah semua harga itu menjadi milikmu sendiri.


Jika manusia diberi kemampuan emosi melebihi malaikat, untuk apa kaki lelah mengitari pandangan jalan berputar putar?
Jika manusia diberi kemampuan moral setinggi IQnya, untuk apa lagi pertanyaan pertanyaan searah mengulang kembali nilai nilai iman manusia hanya untuk tahta diri?
Jika manusia punya pengalaman berharga sebagai guru panutan, mengapa selalu tergantung dan mencari tiang tiang berpamor?
Jika manusia belum mengalami hari hari berlajar untuk berlayar, semua tumpahan ilmu tidak lebih adalah muntahan waktu yang acap kali dibersikan lagi oleh pelayan pelayan lonceng kematian. Tanpa merasa malu, mereka juga kelelahan memungut aib badai amarah?


Maka lebih baik hanya menjadi sebuah lencana, jika suara suaramu tak lebih tak kurang hanya untuk kamu. Kamu masih tetap kamu. Sia sia roh kesejatian menjadi milik. Lebih baik menjadi satu tuan dalam gerbong kereta berbeda arah. Bisakah teorimu menembus pembatas jaman selama akumulasi pengalaman kamu adalah kamu semata. Baju dan topi kesatuanku itu sudah aku simpan rapi dalam daging dan tulang. Tapi mata kita terbutakan dengan cahaya abu abu, tanpa keteguhan prinsip dan iman.


Silahkan lencana kosong itu disematkan. Sekali anomali, niscaya adalah klaim benci dan dendam selamanya. Nikmati "cara" untuk kepuasan, dan lihatlah apa yang terjadi. Waktu mengalahkan perubahan tanpa solusi. Mengapa klaim itu berubah menjadi manusia? Manusia bukanlah manusia. Sorga bukanlah surga. Tuhan bukanlah Tuhan. Apa yang tersisa? Ilusi atau keangkuhan?


Dialog murid dan guru :

Guru, ini pernah terjadi dalam hidup kita. Berulang ulang kali. Pendangkalan berlawanan arah kembali lagi terjadi guru. Dan aku capek mengulang ulang lagi langkah awal yang sama.
Siswaku yang Mahasiswa. Coba lihat gambar ini. Dalam waktu 5 detik, adakah yang salah menurutmu?

(ket.gambar: arah bendera ke depan pada saat berlayar)
Guru, aku tidak berani menjawab. Kepada siapa?
Berarti kamu sudah tahu jawabannya. Aku tidak bicara siapa. Ini pelajaran mendasar hidup umat manusia.
Guru, tidakkah lebih baik belajar soal kematian? Ternyata waktu 5 detikpun bukan lagi milik Pemilik Jagad untuk bicara kehidupan.
Siswaku, renungkan satu hari saja, agar kamu tahu lebih banyak tiap tiap detik itu. Besok kamu aku liburkan.
Guru, apa maksudmu sebenarnya? Aku protes pernyataan itu.
Siswaku, untuk mau dimengeri, mengertilah dulu panggilan imanmu. Kamu pernah menanyakan arti, ketika berdiri di atas panser. Kamu tidak melepaskan satupun peluru dari mesin bren beratmu itu. Padahal ada perintah tembak. Mengapa? Kamu memang memanipulasi perintah dengan satu alasan. Banyak perintah perintah yang tidak sama, berubah setiap detik. Kamu mendapatkan keringanan sanksi karenanya. Puas mencuci tangan? Mengapa tidak berani jika kamu hanyalah pion? Tapi guru tahu sesungguhnya, ada satu alasan asasi. Tidak ada yang salah dengan konsistensi prinsip. Kembali ke ASALI, karena kamu terlena dengan otak 5 detik itu. Matahari tidak tenggelam di laut. Hukum hukum besar hatinurani manusia tidaklah berbeda. Maukah keutuhan manusiamu tenggelam di laut? Maukah kamu dibilang tidak gila hanya karena ikut ikutan? Kebebasan pilihan adalah anugerah. Maka dengan kebebasan itu kamu akan menemukan prinsip prinsip hatinuranimu tanpa takut atau ikut ikutan. Surga bukanlah dunia. Tetapi kita bukanlah debu jaman. Kita tidak ditutut untuk penebusan dosa sejarah. Karena panjangnya sehelai rambutmu itu adalah ukuran umur hidupmu. Kekekalan perubahan waktu terikat dengan hatinurani manusia manusia. Inilah tuntutan panggilan iman. Kamu menyanggah kehendak Guru Tertinggi kita?
Guru, cukup cukup. Maafkan aku yang lelah untuk menahan diri dan lupa.
Siswaku, tebarlah kesabaran dan kamu akan menuai kasih di ladang iman. Ingatlah, Guru Tertinggi mencintai kebersihan dan kesucian hati. Jangan tarik tarik tiang kakiku demi pamor. Jangan mudah terjebak dalam lingkaran pikiran semata, hanya dengan makanan pengakuan. Jika hanya memanjakan lemahmu dalam keteguhan, maka bendera dendam dan kebencian selamanya berlawanan arah. Kamu bukan senjata kebencian. Ingatlah, satu kamu berati bagi semua.

Murid itu berlalu. Sang guru sebenarnya memendam kekaguman atas muridnya tadi. Dialog itu mengangkat kembali kenangan akan anaknya yang tersungkur dalam pangkuannya. Ia mati bersama laskar laskar perdamaiannya. Masih tersimpan, rekaman catatan doa seorang anak yang berbicara tentang nilai keabadian dalam sakratul maut. Saat satu peluru telah menembus dada dan menelan bulat nafas terakhirnya, setelah mulut terucap doa.

Yah Tuhan,

Ketika mataku masih merasa, ketulusan mengukir lukisan hati kami
Seperti butiran embun membasahi tangan
Dan embun itu telah berubah menjadi air mata
Inikah kasih yang Engkau berikan bagi kami?.......
Tuhan, jawablah dalam doaku
Aku sesungguhnya mencintai ketenangan dan inginkan perdamaian
Tapi dunia selalu memberi alasan.
Tidakkah kasih itu ada karena anugerahMu?
Dan keabadian kasih itu adalah ciptaanMu sesungguhnya.... Tidak Tuhan
Aku tidak mengumpat cobaanMu
Aku hanya ingin Engkau mengerti
Kasih pasukanku adalah tulus, kasih pasukanku adalah murni, dan kasih itu abadi
Jika sesaat nanti tiada ruang dan waktu,
tetap ada kasih dan iman yang menyelamatkan kami
Hanya itu saja yang aku minta......Hanya itu saja
Kalau memang tulang dan daging ini dingin dan tersiksa menjadi tanah
harapanku haruslah tetap abadi dan.....
menjadi milik musuh musuhku
Karena kami sesungguh mengerti dengan Allah yang sama, Tuhan yang sama
Satu dan penuh kasih
Maka kehendakMulah yang terjadi
Ayah, damaikan hatimu

agar aku kembali bebas dalam tanganNya

Catatan :

1). Didedikasikan untuk pasukan Hamba Allah ( Khudai Khidmatgar )
2). Penulis pernah mendengar sepintas (belum membaca seluruhnya) kisah Abu Thalib dulu, dan John L. Esposito atau Paulo Coelho sekarang. Silahkan, jika ingin menuangkan tanggapan yang pernah menyentuh dari pesan pesan mereka untuk saling berbagi. Tetaplah pada prinsip dan konsisten dengan hatinurani. Jangan goyah sedikitpun dengan arah kereta perdamaian Cat Steven. Jika memang terjadi pembakaran kitab suci tanggal 11 September nanti (Florida), itu adalah ujian kesabaran kita semua untuk bersatu. Sabar sahabat. Salam.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun