Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Dilema Polisi Moral Naik ke Bulan

10 Juni 2010   20:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:37 250 0
[caption id="" align="alignleft" width="291" caption="http://2.bp.blogspot.com/ "][/caption] Sudah menjadi kodrat, dari jaman ke jaman, untuk mempertahankan diri, untuk mempertahankan wilayah kekuasaan, manusia mencari dan membentuk kelompok. Kelompok ini menjadi sarana untuk saling memenuhi kebutuhan atau bertukar berbagai kepentingan. Pengelompokan semakin kohesif, manakala ikatan emosional, ikatan pengalaman sejarah, budaya, atau perasaan senasip, sependeritaan dan sepenanggungan, semakin kuat. Interaksi yang intens, melahirkan kesepakatan kesepakatan, dan akhirnya melahirkan bentuk organisasi. Termasuk organisasi negara, organisasi dunia, yang diikat dengan landasan norma atau kaidah, menyangkut hak dan kewajiban umat manusia atau negara. Sekarang, hubungan antar manusia dan negara ini semakin kompleks. Dalam berbagai kasus, "kelompok" tidak dapat lagi mengakomodasi berbagai bentuk penyimpangan atau konflik, bahkan sengaja atau tidak, ikut melakukan penjajahan atas entitas termarjinalkan. Norma dan konsensus ikut menentukan lemahnya ikatan kelompok itu sendiri. Yup, ini pengantar penulis saja ketika menjelajah, menjadi manusia purbakala sampai sekarang dan membayangkan diri naik ke bulan. Bila berbicara Indonesia, arah talaran tertuju ke Pancasila. Tapi Pancasila dan sarana pendukung hukumnya tidak mengatur sanksi dari Tuhan, karena sanksi surga atau neraka adalah domain norma agama. Ada norma kesusilaan, kesopanan, kebiasaan, dan berbagai kode etik atau etika dalam arti yang lebih luas, selain norma agama. Semua nilainya bercampur aduk. Indonesia bisa jadi contoh model, Jakarta juga bisa, dll. Begitu juga dengan tatanan dunia saat ini, buah peradaban mutakhir yang berkembang jauh sejak agama hadir di muka bumi. Yup, penulis mulai masuk ke masalah agama, hubungan antar umat beragama dan konsensus nilai. Sejarah peradaban lama, konflik doktrin agama dan perkembangan ilmu tergerus dalam masa kelam. Bisa dibayangkan bila dasar teori astronomi Galileo Galilei tidak ada. Bisa dibayangkan juga, bila ahli ahli agama sekarang, tokoh tokoh atau pimpinan agama, tidak mengikuti pendekatan ilmu kontemporer psikologi, komunikasi, sosiologi, politik, hukum, hubungan internasional, dll, maka "Inkuisisi" dalam berbagai bentuk, yang bisa saja muncul dari berbagai agama, berlangsung sepanjang sejarah, dalam berbagai aspek kehidupan. Menyekutukan diri dengan doktrin, tafsiran dogmatis, mengadili dan membuat takut orang lain "demi kebaikan". Tidak menerima, meragukan berarti menolak agama, atheis, kafir, dll. Lantas bagaimana umat agama menempatkan diri dengan umat agama lain, dalam batas kelompok atau lintas kelompok, sehingga konsensus baru dapat mengikat kembali dalam wilayah kekuasaan, akses keilmuan atau logika yang terbatas? Tuhan menjadi aturan dunia, bereaktif atau manusia sebagai intinya, peradaban lepas dari polisi moral. Dilematis. Peradaban manusia jugalah yang menjadi jawabannya, ketika konflik agama terjun bebas atau setengah bebas dalam peradaban manusia. Konflik sederhana atau bahkan perang fisik yang instrumennya semakin rumit, mempertahankan atau memperluas kekuasaan wilayah atau pengaruh, dengan agresi afektif atau instrumental, hal yang sama menjadi kebiasaan binatang (sederhananya), menjelaskan bahwa manusia sebagai mahluk hidup, juga memiliki sifat predator. Pertahanan diri dalam kelompok atas sifat agresi predator kelompok lain ini menjadi tujuan sebab akibat bangunan tembok China, tembok Jerman, tembok pembatas Israel, atau segala bentuk blokade. Dalam komunikasi sendiri, dikenal pula "blokade" informasi, untuk membentuk afeksi (suka tidak suka), menghasilkan sikap dan tindakan, dari materi kognitif yang tidak berimbang dan manipulatif. Tetapi kembali sejarah mencatat, beberapa benteng pemisah atau berbagai bentuk blokade itu, hancur sendiri akibat tranfer budaya (a.l.pendidikan dan sosialisasi yang merubah paradigma) dan kesadaran akan perdamaian. Perdamaian telah menjadi tujuan utama kemanusiaan. Cara hidup bermasyarakat menyesuaikan diri dengan peradaban yang menjunjung tinggi arti keadilan dan kemanusiaan yang telah dimanipulasikan. Adagium Vox Populi Vox Dei terbukti (walaupun tidak selamanya vox populi itu vox dei). Kemanusiaan itu menjunjung equality before the law, kesetaraan hak dan kewajiban, persamaan martabat manusia, dan menolak superordinasi dan subordinasi, individu atau kelompok atas individu atau kelompok lain. Kebebasan untuk berpikir, kebebasan berpendapat, kebebasan berorganisasi, kebebasan berpolitik, dan kesetaraan di mata hukum, dalam batasan dan ukuran moral dan budayanya, sampai pada tahap akhir perdamaian adalah prasyarat tercapainya konsensus perdamaian itu sendiri. Lalu dimana seharusnya peran polisi polisi moral agama dalam kondisi vox populi vox dei, bila perang terjadi karena konflik kepentingan agama antar polisi agama itu? Potongan pertama untuk judul lanjutan yang beda. Sumber gambar : rjadigital

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun