Saya membuat tulisan tentang 3 kunci mencetak sosok anak didik yang berkualitas di blog saya yang lain. Tidak ada salahnya jika saya posting di sini:
Ketika awal pembentukan Yufid EDU, sahabat kami yang pertama kali diajak bergabung sebagai guru dan spesialis konten adalah saudara Andy Octavian, seorang anak bangsa yang jenius di bidang fisika, peraih medali emas olimpiade Fisika tingkat internasional pada tahun 2006 di Singapore. Dan sekarang Andy sedang bersiap-siap melanjutkan studi S3 di University of Birmingham setelah sebelumnya mencicipi S3 Fisika di University of Maryland, College Park.
Tangan saya tergerak mengetuk-ngetukkan tuts keyboard, ingin bercerita dan berbagi, setelah saya membaca kisah inspiratif seorang Prof. Yohanes Surya, seorang profesor yang punya passion yang tinggi di bidang pendidikan. Ada satu penggal perkataan Prof. Yohanes yang menggelitik saya; "Tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanya anak yang tidak mendapat kesempatan belajar dari guru yang baik dan metode yang benar." Dan perkataan ini beliau buktikan sendiri dengan langsung terjun ke pelosok Papua untuk mencari murid yang paling bodoh, yang paling sering tinggal kelas. Hasilnya cukup mengejutkan, di antaranya ada satu orang anak yang 4 tahun tidak naik kelas di kelas 2 SD, beliau didik, dan kemudian menjadi juara olimpiade Matematika tingkat nasional. Tidak itu saja, anak tersebut juga menjadi juara lomba membuat robot tingkat nasional.
Sahabat kami, Andy Octavian, yang saya ceritakan pada awal tulisan ini adalah seorang dari sekian banyak anak didik Profesor Yohanes Surya.
Sepenggal perkataan Prof. Yohanes Surya di atas sangat menginspirasi saya sebagai seorang ayah dan juga pendidik bagi anak-anak saya. Ada 3 poin yang patut saya catat di sini:
Semua anak didik itu cerdas dan pintar. Tidak ada anak yang bodoh. Setiap anak didik memiliki potensinya masing-masing. Seorang pendidik harus menemukan dimana potensi anak didiknya. Asah potensi tersebut. Anak pertama saya, Ziyad (6,5 tahun), sangat sulit memusatkan konsentrasi ketika sedang belajar berhitung. Bagi Ziyad, belajar Matematika itu kurang menyenangkan. Namun lihatlah betapa asyiknya Ziyad ketika belajar bahasa dan menggambar. Betapa mudahnya Ziyad mencerna materi bahasa Inggris dan bahasa Arab yang saya ajarkan (apalagi bahasa Indonesia!). Itulah potensi Ziyad. Namun, saya istri saya (sebagai guru berhitung Ziyad) tetap menggali lebih jauh bagaimana sih agar Ziyad tetap mencintai Matematika dan seluruh ilmu pengetahuan. Tentu ini butuh waktu buat Ziyad, dan butuh kesabaran bagi saya dan istri sebagai pendidik.
Untuk mencetak anak didik yang cerdas dibutuhkan seorang guru yang berjiwa pendidik. Seorang guru yang berjiwa pendidik memiliki kecintaan (passion) dalam mendidik, menghabiskan waktu-waktu berharganya bersama anak-anak didik. Seorang pendidik memiliki kecintaan yang sangat besar kepada anak didiknya. Hubungan antara pendidik dan anak didik adalah hubungan emosional yang mendalam, bukan hanya sekedar hubungan transaksional di ruangan kelas.
Seorang pendidik dengan dedikasi tinggi belumlah sempurna jika belum dilengkapi dengan metode pendidikan yang tepat. Metode mendidik yang baik tentu akan cocok diterapkan pada seluruh anak didik, apapun kondisi anak didik. Metode mendidik yang baik itu lentur dan lembut, tidak kaku dan tidak pula saklek dan kasar. Contohlah teladan kita, Rasululullahshallallahu 'alaihi wa sallam, beliau adalah pendidik terbaik di muka bumi ini. Lihatlah apa yang dikatakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada anak didiknya (para sahabat):
إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْوَالِدِ أُعَلِّمُكُمْ
"Sesungguhnya aku ini bagaikan orangtua bagi kalian, di mana aku mengajari kalian." (HR Abu Dawud no. 8, dihasankan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Seorang pendidik adalah orangtua kedua bagi anak didiknya. Sungguh indah, bukan?
Semoga di negeri Indonesia tercinta ini lahir anak didik yang shaleh dan cerdas dari tangan-tangan pendidik yang shaleh dan cerdas.
Yogyakarta, 7 April 2014 (2 hari menjelang Pemilu 2014)