“Tuhan telah menyembunyikan lautan dan mewujudkan buih
Ia telah menyembunyikan angin dan menunjukkan debu
Bagaimana pasir dapat berhamburan sendiri ?
Tetapi kau melihat pasir dan tidak melihat angin
Bagaimana buih dapat bergerak tanpa laut
Tetapi kau melihat buih dan tidak melihat laut”
(KH. Riyadhul Faqier Muhammad Muchtar Al-Husseini)
Semoga Alloh SWT senantiasa memuliakan beliau
Menyikapi situasi dan kondisi yang berkembang saat ini, entah mengapa jadi ingin kembali bernostalgia mengingat sosok almarhum sang guru, pribadi yang sederhana, apa adanya, low profile, tegas dan lugas, istiqomah dan penuh pesan tersirat. Tidak pernah tergurat keraguan dalam wajahnya ketika menyikapi berbagai permasalahan dunia dan akhirat, semua dijelaskannya dengan tegas dan dalil yang kuat. Apalagi menyoal terkait negara dan masyarakat, sosial politik, hukum agama dan hukum negara, perhitungan-perhitungan sejarah, mulai dari zaman kenabian hingga zaman kekinian, dan penghargaannya yang teramat tinggi terhadap generasi, karena baginya setiap generasi memiliki masanya, dan tugas pendahulu adalah mengantarkan generasi berikutnya sebagai ‘canal’ hingga sampai ke muara lautan bebas lepas.
Ditengah ketidakjelasan berbagai permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia saat ini, sangatlah tepat jika saya kembali pada syair puisi sang guru bahwa pada umumnya kita hanya mampu melihat apa yang terlihat oleh mata fisik kita, tetapi kita tak memiliki kemampuan untuk melihat dengan mata bathin kita, ya, apapun itu, mau yang berhubungan dengan keduniawian ataupun yang berhubungan dengan ke-akhiratan. Realitas kini, banyak sekali kita temukan kejadian-kejadian yang membuat setiap jiwa-jiwa menjadi berontak, ketidak adilan, kesewenang-wenangan, impotensi supremasi hukum, jual-beli harga diri, kanker “korupsi” akut yang sudah sulit diobati, kekerasan berkedok agama, terorisme, serta pelecehan dan penistaan agama menjadi komoditas inti para aktor intelektual yang tidak pernah berhenti untuk mengacaukan negara.
Negara, bagi mereka hanyalah sebuah etalase, yang bebas untuk diubah letaknya, yang bebas untuk diacak-acak isinya, Negara seperti sebuah papan permainan, yang dijadikan arena judi dan tebak-tebakkan, Negara sebagai sebuah panggung sandiwara, yang bebas untuk mengatur peran siapa menjadi apa, dan negara menjadi sebuah bahan kelucuan, yang mampu membuat mereka tertawa terpingkal-pingkal manakala mereka melihat kita masyarakat korbannya yang bodoh menikmati alur cerita rekaannya.
Sahabat! pernahkah kita berpikir, setiap hari kita disajikan berita-berita yang up-date terkait perkembangan peristiwa yang terjadi dijagad ini, tetapi apakah kita yakin berita tersebut benar adanya? atau kita hanyalah sebagai penikmat saja karena hal ini sudah menjadi rutinitas harian kita sepanjang hidup dan kemudian membahasnya diwarung-warung, cafe-cafe, kantor-kantor dan tempat lainnya dimana biasa terjadi diskusi dan kongkow-kongkow. Kita selalu melihat atau mendengar sebuah kejadian tanpa tau siapa otak dibalik kejadian, kita biasa melihat asap membumbung tinggi dari kejauhan tanpa melihat api yang menjadi penyebabnya, ternyata tak bisa dipungkiri hal tersebut sudah menjadi bagian dalam kehidupan kita, karena takdir kita berperan sebagai makhluk yang awam.
Tak berhenti sampai disitu, sebagai makhluk sosial kita pasti memiliki respek terhadap apa yang terjadi disekeliling kita, baik sebagai insan yang aktif ataupun pasif. Jika dalam sebuah kejadian kita menjadi pelaku, tentu kebenaran informasi adalah kunci utama yang kita pegang, walaupun pada perjalanannya banyak terjadi manipulasi, rekayasa, trik dan intrik, pada akhirnya semua akan kembali kepada diri kita sebagai pemilik kebenaran. Dari seluruh kasus-kasus yang terjadi dinegeri ini, mulai dari kasus-kasus yang muncul pasca bergulirnya reformasi sehingga menjadi klasik sampai kasus-kasus ter-update saat ini yang terus bermunculan tak habis-habisnya, film action dengan jagoan ariel peterpen, teroris genit yang selalu menggoda densus88, drama Century yang ceritanya belum jelas hingga kini, wisata travel check yang perjalanannya penuh liku, mafia pajak “gayus dan wignya” yang begitu stripping dengan episode panjang layaknya sinetron kita, para whistle bloweryang menghasilkan harmonisasi nada sumbang,gaji yang gak nguber...cabe dech!, crop circle yang heboh disikapi dengan lebay, dan terakhir peristiwa film horor cikeusik dan temanggung, kesemua itu adalah pasir yang berserakan tanpa terlihat angin yang menggerakkan. Yup! Aktor intelektual alias provokator menjadi sosok misterius yang muncul dimana-mana, apakah dia laki-laki atau perempuan? apakah dia sendiri atau berjamaah? apakah dia tinggal dirumah gubug atau di istana yang mewah? apakah dia sosok yang sejuk penuh kharisma, cool calm confident, atau sebaliknya merupakan sosok sangar penuh antagonis? Apakah dia seorang pejabat atau rakyat biasa? Seribu pertanyaan sekalipun tak akan pernah terjawab tentang wujud dan bentuk makhluk yang bernama “Aktor Intelektual alias Provokator” itu.
So, bagaimana caranya memecahkan teka-teki ini? Apa kuncinya? Bagaimana supaya kita tidak hanya bisa melihat debu saja tetapi juga mampu melihat angin? Mungkin anda bisa membantu saya mencari jawabannya? Mari kita renungkan bersama.