Laju pertumbuhan penduduk yang semakin cepat membuat jumlah penduduk negeri ini semakin bertambah ditambah tingkat harapan hidup yang semakin besar membuat jumlah manusia yang berada di atas bumi Indonesia semakin banyak pula. Semuanya butuh makan, butuh pangan. Orang Indonesia mayoritas makanannya adalah nasi yang berasal dari beras, sementara beras berasal dari padi dan padi dipanen dari sawah maupun huma.
Bagaimana nasib luasan sawah maupun huma di Indonesia? Berkurang pesat seiring laju pembangunan yang menghancurkan sumber pangannya sendiri. Kemampuan sawah untuk mencukupi produksi padi sudah sangat tak seimbang. Selain berubah menjadi kawasan pemukiman ataupun bangunan infrastruktur lainnya, banyak juga sawah berubah fungsi menjadi kebun baik sayuran maupun kebun tahunan. Apakah petani bias di salahkan?
Tidak ada yang bisa di salahkan, petani mengubah lahannya menjadi lahan sayuran atau perkebunan tanaman tahunan karena petani juga ingin hidup layak, petani punya kebutuhan hidup yang hampir sama dengan kita semua. Petani punya keluarga untuk di nafkahi, punya anak yang sedang sekolah untuk dibiayai. Dan hal itu bisa tercukupi dari hasil budidaya hortikultura maupun tanaman tahunan miliknya. Bagaimana dengan sawah, apakah tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup petani? Jawabannya tidak. Coba kita hitung bersama, kebanyakan petani di Indonesia kepemilikan lahannya berkisar 1000 m2 hingga 2000 m2, dan tidak sedikt yang memiliki sawah hanya seluas 700 m2, ini akibat laju pembangunan yang di satu sisi menggerus lumbung panagn negeri ini. Bagaimana dengan hasil yang di dapat dari sawah? Per hektar tanaman padi (10.000 m2) menghasilkan rata-rata 7 ton GKP (Gabah Kering Pungut). Jika sawah luasan sawh yang dimiliki 1000-2000 m2 hasil yang di dapat sekitar 700 kg hingga 1.400 kg selama 1 musim tanam atau 4 bulan. Berapa jika diuangkan? Per kg padi GKP Rp. 4.000 jika dikalikan dengan hasil panen petani berarti pendapatan kotor petani Rp. 2.800.000 samapai Rp. 5.600.000. Ini baru pendapatan kotor, jika dipotong biaya produksi yang berkisar Rp. 1.500.000 sampai Rp. 2.500.000 maka penghasilan bersih petani Rp. 1.300.000 sampai Rp. 3.100.000 per musim(4 bulan). Perbulan petani berarti hanya mendapatkan penghasisal berkisar 325.000 rupiah hingga 775.000 rupiah. Apakah kita pernah memperhitungkan ini?? Belum lagi beberapa karung yang tidak dijual (untuk mencukupi beras di dapaur petani) akan mengurangi jumlah rupiah yang dikantongi petani untuk biaya hidup bulanan di rumah tangganya. Bagaimana jika luasannya sawahnya kurang dari perhitungkan tadi atau produktivitasnya tak sampai 7 ton/ha?? Anda bias hitung sendiri.
Maka tidak heran jika banyak petani yang beralih ke tanaman lain karena tingginya kebutuhan hidup.
Sementara kebijakan saat ini kita gencar mengkampanyekan gerakan peningkatan produksi beras nasional. Gerakan pemenuhan pangan untuk memengisi perut masyarakat atau kalau boleh di bilang menyuplai pangan untuk orang yang tak punya sawah tapi punya uang untuk beli beras. Yang jika harga beras naik maka demo.. berteriak dengan lantang pemerintah gagal memenuhi kebutuhan rakyat..rakyat lapar!! Tapi apakah kita semua tidak sadar di balik murahnya harga beras ada pihak yang di korbankan? Petani disuruh tanam padi untuk mengisi perut orang yang tak punya sawah, sementara kesejahteraannya diabaikan dengan murahnya harga hasil panen yang mereka dapat. Sementara di UU n0. 16 tahun 2006 tentang SP3K disebutakan bahawa tugas pemerintah melaui penyuluh adalah un tuk mensejahterakan petani. Sekarang timbul pertanyaan tujuan kita swasembada ataukah kesejahteraan petani??
Wassalam
(Owner dari http://sahabattani.com)