Tiga tahun meninggalkan ibukota membuat saya agak canggung untuk kembali menjadi penumpang angkutan umum Jakarta, yang konon bila membaca berita dan memantau dari komentar yang beredar kondisi yang sangat carut marut tak sesuai dengan ongkos penumpang membuat warganya enggan untuk menumpang angkutan umum. Ditambah lagi berita miris kriminalitas serta nasib buruk yang menimpa penumpang di atas angkutan umum.
Kali ini kembali saya menjadi penumpang. Seperti halnya jutaan umat di Jakarta yang begitu bangga dan bergantung (dan bergelantungan) pada transjakarta, sayapun menjadi bagiannya. Walau sebenarnya ada alternative kendaraan umum lainnya, tapi entah mengapa saya enggan untuk mencobanya. Tarif yang di terapkan Rp. 3500 bagi penumpang Transjakarta tujuan kemanasaja, dan boleh naik turun berulangkali di sertiap persimpangan jalur, begitu memanjakan masyarakat Jakarta dengan harga angkutan umum kota ‘murah meriah’ (dan masih saja mengeluh).
Memang naik transjakarta harus penuh perjuangan, tidak seimbang antara supply & demand, serta ketidakmatangan manajemen transportasi umum dikalangan birokrat perencana pemkot DKI menjadikan permasalahan tak pernah terselesaikan, malah selalu menambah masalah dengan masalah-masalah baru. Perhatikan saja shelter2 yang tersedia begitu membludak oleh penumpang yang sering kali tak terangkut, membuat penumpang harus berdesakan dan menunggu lebih lama, belum lagi frekuensi waktu kedatangan yang tak pasti (dijanjikan tiap interval 5 – 10 menit, namun kadang hingga 30 menit). Perjuangan tak selesai di Shelter, di dalam bis pun, suasana nyaman tak bisa di buktikan, hanya tersedia mungkin sekitar 30 kursi saja (berapa pastinya jumlah tempat duduk yang tersedia, saya belum sempat hitung, maaf). Dari 30 kursi tersebut hanya 10 bagi wanita di area khusus wanita yang di sediakan di atas transjakarta, sisanya bisa ke area umum atau berdiri (kebanyakan wanita lebih rela berdiri lebih lama di area wanita dari pada berpindah ke area umum yang didominasi para pria), ditambah lagi dengan pergerakan bis yang sudah di pastikan membuat penumpangnya terbuai dan terombangambing kiri-kanan-depan-belakang. Walau demikian panjang deritanya naik transjakarta, namun penumpang tak berkurang tetap diminati, karena murah.
Lalu saya mencoba naik angkutan kota lainnya, yaitu kopaja dan metromini. Lama tak naik kendaraan umum jenis ini, membuat saya bingung membayar tariff, untuk amannya saya kasi Rp. 5000 dan mendapat kembali Rp. 3000, berarti tarifnya ‘hanya’ Rp. 2000, murah banget kan ?? dengan rute kopaja yang bila dari ujung ke ujung lumayan jauh (missal : P.20 Senen – Lebak Bulus). Dan semalam sepulang kerja saya iseng mencoba naik biskota yang searah dengan jalur transjakarta yang biasa saya tumpangi, bis non-ac reyot milik Perusahaan Penumpang Djakarta atau yang dikenal dengan PPD, saya naik PPD 43 rute CIlilitan – Tj. Priok, saya bayar ongkosnya ‘hanya’ Rp.2000 , lagi-lagi terkagum-kagum dengan murahnya ongkos yang harus saya keluarkan.
Akan lain ceritanya bila saya naik mikrolet atau angkot, yang mengenakan tarif berdasarkan jarak dan mood driver. Untuk perjalanan yang sama dari rumah saya ke jatinegara, bila membayar dengan Rp.5000 maka kadang akan mendapat kembali Rp. 2000 atauRP. 1500 bahkan pernah juga RP. 1000. Jadi sebaiknya bayarkanlah dengan uang pas.