mendecak-decak bibir kering
remang dan suara yang bising.
Dahulu kota ini indah tempat persinggahan
kini tiap sudutnya aroma pessing urinoar
Orang-orang membingkai dirinya dalam kotak yang disebut cahaya
dua lengan ini tak diciptakan untuk memelukmu
    aku melengserkan pelukan dari tuturan terapan, dan semua tentangku adalah tarian pargoy, narasi keselamatan semu yang padat dan tak berisi
semua hal adalah duniaku.
Tikus memamahbiak melahirkan sepuluh tikus
yang menggrayangi dapur orang kerdil.
Orang kerdil adalah tikus yang tersirat bahasa kelaparan
semua benar dalam bahasa perang dan kelaparan
Kini kusuruh ibuku menggendong anak kecilnya untuk mengenakan bulu agar menari riang di perempatan kota.
Kini tiap orang yang tak bersekolah,
sama dengan orang yang bersekolah
   Aku ingin hidup kaya dan sejahtera, tertidur di puncak menara yang mencakar pipi langit.
         Untuk itu aku bersekolah.
Aku adalah dokter yang ingin hidup kaya
Aku adalah polisi yang ingin hidup kaya
Aku pegawai negeri yang ingin hidup kaya
Aku ustad yang pandai berceramah
 Maka bertanyalah di antara mereka, kaum ketir dari putra Adam: "siapa yang memberi makan kami, ya ustad?"
Siapa lagi, tentu saja Tuhan
.
Tuhan, kami sedang sibuk membangun kota.
Bila bukan kami, tak ada yang kan duduk di atas sana
dari keringat dan darah kami
Tuhan ijinkan aku berpoligami
sebab satu adalah doa, dan dua adalah upaya menindas perempuan
     kata mereka,
Kata mereka yang berlayar bersama Colombus menyebrangi hutan Kakao dan melintasi pantai Arab Saudi yang dipenuhi turis.
     "Sudahlah." kata Tuan itu. "Lebih baik memikirkan laparmu sendiri. Sebab pahlawan tak ada dalam bahasa kelaparan, semua tentang perut."
Namun perut kota terbuat dari orang-orang yang bekerja siang malam
untuk cicilan rumah 20 tahun ke depan.
Kini 'rumahku' adalah bahasa yang jarang dituturkan dengan lantang,
harga gorengan di kaki lima, dua kali lipat.
Lantas siapa yang memikirkan kota
adalah orang gila
namun tiada yang memikirkan kota,
kota ini semakin gila.
Makassar, Juni.