Fakta di lapangan, ide taksi online itu ditangkap sekelompok masyarakat yang akrab dengan teknologi secara amat cerdas. Responsibilitas tersebut merupakan kejelian mengambil peluang usaha.
Negara, dalam hal ini hadir terlambat. Mau tidak mau itu harus diakui, karena amanat UU cukup jelas sementara implementasinya amat sangat kedodoran.
Gejala sosial merebak, merasa disaingi taksi konvensional teriak-teriak mengerahkan para sopir karena permintaan turun drastis. Alasan demo dibikin ngeres, gak bisa makan, gak bisa nyekolahin anak, gak bisa bayar kontrakan.
Demo, dalam kasus taksi online, pada dasarnya merupakan bentuk keterlambatan berfikir. Menejemen taksi konvensional seharusnya mengejar ketertinggalan, dan tidak turun ke jalan. Memanfaatkan aplikasi yang sama, secara regulasi taksi konvensional memiliki ruang gerak dan ruang gertak yang lebih leluasa. Mengapa ini tidak dilakukan?
Merujuk nilai gotong royong, taksi online tidak boleh pelit memonopoli aplikasi. Sepanjang taksi konvensional dan online duduk semeja, dipastikan tidak terjadi keributan. Endingnya masyarakat pengguna semakin banyak pilihan.
Kesimpulan saya: penguasa harus mecermati regulasi dengan seksama, kemudian menjalankannya secara konsisten. Di dalam Kabinet Kerja gak boleh ada kamus telmi. Kesimpulan kedua, pelaku bisnis taksi perlu memahami makna gotong royong, karena itu bagian dari budaya yang ditegakkan oleh Presiden Joko Widodo. Kesimpulan ketiga, UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas perlu disempurnakan. Angkutan penumpang plat hitam musti dipayungi hukum.