“Menulis buku itu perlu pertimbangan masak-masak.” Begitulah kalimat pembuka berita Sisi Lain Istana yang ditulis wartawan Kompas berinisial J Osdar pada Rabu/15 Januari 2014. Ada pepatah Latin yang melatari tulisan ini. Nescit vox missa reverti ‘kata yang dilontarkan tidak dapat ditarik kembali’ dan vox audita perit, littera scripta manet ‘suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tertinggal’.
Buku memang produk ampuh untuk mengawetkan gagasan seseorang, termasuk ujaran dan pemikiran penulisnya. Karena itu, jika ujaran dan pemikiran itu pada suatu masa bertolak belakang, buku menjadi saksi bisu yang menembus ruang serta waktu. Bahkan, buku pun seolah menjadi tulah (kutukan) bagi penulisnya.
Padahal, setiap penulis berharap kata-kata yang ditatanya itu bertuah. Kekuatan tuah salah satunya dapat memengaruhi pembacanya secara luas. Namun, alih-alih tuah yang didapat, malah tulah yang diperoleh karena kata-kata yang tertinggal itu.
Rupanya tulisan tersebut menyoroti karya Anas Urbaningrum tahun 2009 berjudul Bukan Sekadar Presiden—Daya Gugah SBY sebagai Seorang Pemimpin. Anas memuji SBY dan KPK sebagai sosok dan lembaga yang sangat membanggakan dalam buku tersebut. Tentu hal ini bertolak belakang setelah Anas digelandang ke KPK sebagai tersangka awal tahun ini, begitupun suara keras yang dilontarkan PPI menyikapi KPK, lalu belakangan merembet ke SBY. Bahkan, Anas dengan tenang menyebut penahanannya sebagai “kado tahun baru” untuk SBY dan ucapan terima kasih kepada KPK sebagai sebuah sindiran.
Apa yang tertulis dulu begitu terlihat lantang ternyata kini balik ditentang. Jadi, masyarakat pembaca pun boleh jadi tersenyum kecut. Tidak hanya masyarakat pembaca, kini masyarakat pemirsa pun bisa “menikmati” hal yang sama.
Televisi atau rekaman Youtube kadang bisa mempertontonkan kebertolakbelakangan sikap dan omongan seseorang yang telah terekam. Rekaman Anas menyatakan, “... Anas siap digantung di Monas ....” berkali-kali ditayangkan televisi. Begitupun rekaman para selebritas di infotainment bisa diputar berulang-ulang memperlihatkan omongannya yang “jauh panggang dari api”.
Apakah kini seseorang harus waspada dan berhati-hati menulis buku, terutama buku politik? Tampaknya, ya, mengingat buku itu seperti rekam jejak pikiran sang penulis. Apalagi jika kemudian hari seorang penulis “mengkhianati” pikiran dan tindakannya sendiri yang tertulis di dalam buku. Sontak media akan bereaksi, termasuk media sosial.
Tidak dimungkiri bahwa buku atau tulisan juga seperti kamuflase bagi watak dan sifat seseorang yang sesungguhnya. Karena itu, buku terkadang ampuh pula sebagai alat pencitraan. Mereka, tokoh yang menulis buku itu, bisa jadi memang tidak bisa menulis buku. Namun, mereka mampu menyewa jasa penulis bayangan (ghost writer) dan merekayasa informasi, termasuk pemikirannya sedemikian rupa.
Begitupun para caleg, capres, atau cawapres yang kemudian menulis buku pada tahun politik ini, mereka setidaknya ingin dicitrakan baik untuk konstituennya. Aneka gaya bahasa pun digunakan. Mereka harus terlihat bersahaja, merakyat, bijaksana dalam kata-kata dan juga kadang sebuah kisah kegetiran mereka pantas untuk didramatisasi sehingga mengundang air mata dan akhirnya simpati.
Tampaklah ia kemudian sebagai orang yang benar-benar penuh simpati atau tampak cerdas. Giliran dilakukan diskusi dan bedah buku, bisa jadi watak dan sifat sebenarnya malah tampak bertentangan dengan bukunya. Bisa juga hal ini terlihat dari aktivitasnya di media sosial.Ia tak mampu menulis seelegan buku karyanya.
Jadi, bolehlah berpikir seribu kali sebelum menulis buku politik karena jejak yang ditinggalkan takkan hilang bersama angin. Buku meskipun bertuah bisa pula menjadi tulah bagi penggagasnya. Kadang tulah itu juga datang dari doa orang-orang teraniya. Siapa yang teraniaya itu? Para penulis bayangan (ghost writer) atau penulis pendamping yang honornya belum dilunasi oleh para politikus pemesan buku itu. [BT]
Copyright 2014 oleh Bambang Trim | Tanya Bambang Trim WA 081519400129 | Pin BB 749FE40E