Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi Pilihan

Kembalinya Romantisme Mesin Tik

30 Januari 2015   14:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:06 109 2
Anda generasi yang pernah menikmati romantisme mesin tik? Kala itu tentu ada masih ingat harus menggunakan tenaga pada jari-jari Anda untuk mengetik di atas tuts mesin tik, menggeser tuas setiap kali tikkan akan berpindah baris atau menggesernya dua kali yang sama dengan fungsi enter pada keyboard komputer. Lalu, jika ada tikkan yang salah, Anda pun menggunakan cairan koreksi yang dulu populer bermerek tip-ex. Anda pun harus menyediakan juga stok pita gulungan kalau-kalau habis. Bahkan, dulu ada pita dua warna hitam merah, tentulah warna merah digunakan untuk menandai kata-kata khusus.

Namun, kini mesin tik mungkin sudah menjadi barang antik. Di daerah Cikapundung, Bandung, saya masih melihat deretan mesin tik bekas yang dijual. Entah siapa yang akan membeli mesin tik tersebut atau hanya sebagai pajangan sebagai saksi bisu peralihan zaman.

Walapun demikian, sampai sekarang masih ada para penulis generasi tua yang setia dengan mesin tik. Contohnya, Remy Silado alias Yapi Tambayong yang tetap merasa mesin tik itu tidak tergantikan.

Saya sendiri hidup di antara dua fase tersebut. Pada semester awal hingga semester tiga kuliah (1991-1992), mesin tik menjadi barang mewah dan sangat bermanfaat mengerjakan tugas kuliah. Namun, beranjak ke tahun 1993, mesin tik sudah mulai tergantikan dengan PC. Mulailah saya menggunakan WordStar ataupun Chiwriter sebagai aplikasi untuk membuat dokumen. Mesin tik tak lagi populer meskipun saya sempat mengikuti kursus mengetik. Satu-satunya keterampilan yang masih bermanfaat adalah kemampuan mengetik cepat 10 jari tanpa melihat tuts.

Nah, rupa-rupanya kini mesin tik kembali berevolusi setelah "dibunuh" oleh PC dan laptop. Penciptanya, Adam Leeb dan Patrick Paul dari AS, melihat ruang kosong ini ketika para penulis mulai terganggu aktivitasnya karena internet (jejaring sosial, media sosial, email, dsb.). Mereka tidak bisa lagi berkonsentrasi untuk menulis. Jadi, diluncurkanlah itu HEMINGWRITE dengan tagline: Set Your Thoughts Free.

Hemingwrite jelas lebih modern menggunakan keyboard QWERTY dan fasilitas penyimpanan berbasis cloud. Tak ada kertas lagi memang, yang ada hanya layar kecil berformat hitam putih. Dan Anda hanya bisa mengetik, tanpa melakukan tugas lainnya. Jika sudah selesai, Anda dapat menggunakan fasilitas penyimpanan seperti Google Drive atau Dropbox melalui koneksi WiFi.

Bentuknya pun handy dengan desain retro. Kisaran harga hampir sama dengan laptop yaitu Rp4 jutaan. Soal baterai, ini hebatnya. Hemingwrite bisa bertahan selama 4 minggu lebih yang berarti sebulanan.

Saya yang termasuk mempertimbangkan membeli barang unik ini. Pertama, memang terasa aktivitas menulis sering terganggu oleh bermacam godaan di dunia maya. Kedua, memang rasa-rasanya diperlukan konsentrasi penuh untuk mengerjakan tugas menulis dengan memutus hubungan langsung ke dunia maya.

Akan tetapi, apa iya kita bisa lebih enak menulis tanpa bantuan Google setiap saat? Saya pernah mencoba dan hanya mengandalkan referensi tercetak, ternyata tetap bisa. Baiklah Hemingwrite kalau begitu memang menggoda. :)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun