Fia, anakku, suatu saat, kau sendiri perlu melakukan pencarian, walau hakekat pencarian itu sebenarnya tidak ada.
Karena semua sudah tersedia padamu, pada jiwamu, pada perjumpaanmu, pada kesunyianmu.
Tapi bukan pada kerinduanmu.
Kerinduanmulah yang memaksa membawa kesadaranmu untuk mencari.
Kerinduanlah yang memaksa realitas jantung dan hatimu untuk merasa kehilangan,
dan oleh karenanya, kamu terdorong untuk mencari.
Fia, dengan diam tanpa mencari, engkau tidak akan lelah.
Engkau harus lelah dalam gerak.
Dengan lelah engkau akan berhasil menidurkan kesadaranmu.
Disitulah kelak engkau akan menemukan.
Menemukan apa yang selama ini mestinya tidak engkau cari.
Tapi tanpa engkau melelapkan kesadaranmu, engkau akan merasa kehilangan,
dan tidak yakin akan menemukan.
Anakku, puisi-puisi yang ayah ciptakan di bawah ini, renungkanlah :
Jalasutra
: dari Ngadisari ke Bromo jam nol-nol.
Ku ketuk pintu demi pintu , ku buka jendela demi jendela
Angin segar malam menyelinap di bawah atap
Sembunyikan gelisah, bekukan perjalanan gemintang
Siapa menjaring kupu-kupu, merebut warnanya ?
Tak hendak memanggil siapa yang masih mendaki bukit.
Sebutir pasir yang tergenggam bisu bersama yang menggenggam.
Siapa menari kobarkan unggun, mencari-cari apinya ?
Memeluk gigil kuncup melati
( seseorang menghirup dupa, dan Aku menghirup orangnya)
Di depan unggun, sejuta yang membuka tiga pintu dunia
Mencumbu satu di dalam satu
Berteriak ! :
Duka siapa membentang selebar dunia
Jala siapa menjaring dosa dengan karma ?
(bromo, hari kasada )
dunia satu
di tengah keramaian pasar
ku dengar pikuk keributan
orang orang berebut
waktu
daging
tulang
dan darah.
dunia dua
ketika api menjalari seluruh sumbu lilin yang terbakar
ku menduga dunia ‘kan terbakar.dan.
kita musna menyala-nyala.
kota bumi
yang dipagari dinding, batu, dan pintu
yang setiap langkahmu terbentur-bentur tembok
yang selalu mencari angin lubang jendela ke matahari
ziarah
sehingga bibirmu terkatup
sebab semua pintu tertutup
terlelap dari angin,
kupu menangkupkan warna dingin sayapnya
sehingga kulihat matamu sebagai cermin
lewat tegap nisanmu
lihati perjalanan harum kemboja
sehabis menjemputmu; siapa ?
rosojati
siapa lintasi kupunya malam
olesi pipi-pipi orang tertidur dengan lumpur
melarung keringat kedalam nafas
melarung samudra kedalam jantung
?
siapa bisa hindari kaupunya mau
bila diserbu segala penjuru
pintu dibiarkan berderit
kaca dibiarkan bergetar
?
siapa temukan kaupunya jejak
?
Anakku, Fia, adakalanya pencarianmu itu menghadap ke tembok, dan kau tetap harus mencari.
Apakah kau harus berputus asa ? Jangan, anakku. Pencarian harus tetap diteruskan,
karena hakekat pencarian adalah penelusuran kembali akan hakekat perjumpaanmu.
Hakekat keberadaanmu atas realitas dunia inilah yang engkau harus mencari.
Anakku, cobalah renungi puisi-puisi ayahmu di bawah ini:
kepada tembok satu
mereka sama sama berteriak pada ombak
panggili angin
menatap pulau
tangisi biduk tercampak
badai telah menggusurnya
kami telah beribu tahun disini, kata mereka
pada karang yang telah menjadi tembok
deburnya dihantam-hantamkannya pada tembok
rindunya dirobohkannya didalam isi dadanya yang hendak meledak
hendak bertanya: pabila kembara ‘kan sampai
ke pantai ?
kepada tembok dua
dicarinya sebutir pasir yang hilang
seabad yang lalu
pada pantai yang sama
pada laut yang sama
pada ombak yang sama
dicarinya seekor semut yang telah mati
seabad yang lalu
diterjang ombak
terlempar bersama
sebutir pasir didalam bulan purnama
ketika laut mulai hendak surut.
tanpa judul
........seorang lelaki hari ini telah pergi
kembara jauh sekali
lewati jalan yang tak pernah sama
mencari tempat dimana ia pertama kali berangkat.............
Nah,..begitulah anakku, dalam mencari sekali lagi engkau harus pada suatu titik dimana kesadaranmu itu menjadi terlelap.
Ajarkanlah ini, pada anak-anakmu kelak, setelah engkau mengajari dirimu sendiri dalam mencari keberadaanmu.