29 Mei 2021 19:00Diperbarui: 29 Mei 2021 18:5710621
Monolog 4: Kelahiran
Kelahiran itu mestinya tidak ada. Bagaimana bisa dikatakan lahir, kalau sebelumnya sebenarnya sudah ada. Sudah ada dalam keserentakan penciptaan. Dalam keserentakan perjumpaan. Lebih tepat kalau kita mengatakannya sebagai pertamuan. Karena realitasnya adalah kita bertamu. Yakni bertamu ke dalam dimensi ruang waktu tertentu. Realitas itu yang akhirnya memunculkan beragam atribut, yaitu: anak, ibu, bapak, eyang, eyang buyut, eyang cicit, dan seterusnya.
Anakku, Fia, engkau aku sebut anakku, semata-mata hanyalah atas kemauan realitas semu. Adakah engkau merasakan semunya realitas itu, anakku ? Dalam bahasa hakekat, mestinya tak pantas aku menyebutmu anakku, dan aku ayahmu. Cobalah, engkau renungkan itu, tanpa harus selalu mengacu pada realitas ruang dan waktu.
Cobalah, hilangkan kesadaranmu dari basis medium ruang-waktu, anakku, niscaya engkau akan mendapati bahwa perjumpaan tidaklah membutuhkan medium ruang-waktu. Karena ia (perjumpaan) hanyalah maha titik, yang tidak membutuhkan jarak start, serta waktu ancang-ancang. Serentak dan abadi.
Jadi, engkau, aku, ibumu, dan saudara-saudaramu itu hakekatnya adalah produk dari keserentakan nan abadi itu. Oleh karenanya hak dan kewajibannya adalah sama. Asasinya adalah sama. Pengalaman semunya juga sama. Merasakan sedih juga merasakan gembira.
Tapi, anakku, karena pertamuanmu kedalam alam real --semu duniawi ini seolah-olah diakibatkan oleh suatu proses biologis, maka kesadaran orang menyebutmu sebagai anakku, karena kelahiranmu itu.
Anakku, Fia, sekali-sekali engkau perlu merenungkan pertamuanmu ini bukan dengan gaya bermenung serial, melainkan paralel, yakni gaya bermenung titik bukan garis, anakku.
Dikatakan paralel karena tidak hanya terfokus pada semesta titik yang menyusun suatu garis, tetapi sekaligus titik yang menyusun segala sesuatu yang bukan garis. Sampai di sini apakah engkau sudah mengerti anakku ? Bilamana belum engkau mengerti, cobalah baca puisi di bawah ini, saat ayah, dan ibumu menyambut kelahiranmu (pertamuanmu) sebagai manusia baru di kehidupan rumah tanggaku.
Anakku, Filasafia Marsya Ma’rifat, ketahuilah bahwa kelahiranmu itu ditandai dengan adanya kejadian Gerhana Matahari Cincin. Dan sebagai rasa syukur atas amanah kelahiranmu itu, kemudian ayah tandai pula dengan Puisi. Yaitu, satu puisi yang ayah beri judul: Fia, sesuai dengan nama panggilanmu, anakku.
FIA Buat: Anakku, Filasafia Marsya Ma'rifat,
Katakanlah kepadaku bahwa ketika engkau melihat setitik embun, sebenarnya engkau sedang melihat tujuh samudra alfatihah yang maha luas. Dan, wahai anakku, katakan pula padaku bahwa ketika engkau sedang merasakan kesadaranmu, sebenarnya engkau sedang membawa serta semestamu ke dalam suatu Perjumpaan Agung nan Maha Mengharukan
Dikaulah embun dari samudra alfatihah itu Yang menaburkan ma'rifat ke penjuru bumi Dikaulah embun itu Yang datang dari samudra genangan airmataku Ketika rindu sedang menyesakkan di dada ini.
Engkaukah itu yang baru datang Dari jauh mengejar kelu tangis ibumu menunggu kedatanganmu Engkaukah itu yang sampaikan pesan lewat gerhana matahari cincin itu Hingga ibumu menyusuri dentang jam malam hari Menggendong selaksa asa haru sunyi.
Dikaulah embun dari samudra alfatihah itu Yang menaburkan ma'rifat ke penjuru bumi
Dikaulah embun itu yang datang dari samudra genangan airmataku Ketika rindu sedang menyesakkan di dada ini.
Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.