Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

[FFK]: Rahasia Emak

18 Maret 2011   16:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:40 250 9
Matahari pagi mulai menyeruak, cahayanya berkilauan menembus fentilasi celah-celah jendela di sebuah bangsal rumah sakit. Sinarnya yang terang, tidak menggambarkan cahaya pada wajah beberapa orang yang ada di dalamnya. Wewet masih terbaring lesu. Sudah dua hari, ia terkapar di rumah sakit. Belum ada keterangan jelas dari dokter, tentang penyakitnya. keluarganya, lelah menanti dan senantiasa setia di sampinya. Mak Riri dan Kakak semata wayangnya, Ohtrie yang hanya sesekali berada di dekatnya, karena harus menarik becak.

Menurut suster yang kerap memeriksanya, pagi ini baru ada keputusan tentang penyakit yang diderita oleh Wewet. Hanya tinggal menunggu dokter yang akan datang pukul sembilan pagi. Emak Riri senantiasa berada di sampinya. Tak kenal lelah, mendampingi anak perempuan kecilnya.

****
Jam sepuluh pagi, Ohtrie datang tergopoh-gopoh membawa bungkusan sarapan pagi untuk emaknya. Juga termos air panas serta baju ganti untuk emak dan adiknya. Tak lupa diciumnya punggung tangan ibu dan kening adiknya.

"Jadi, apa kata Pak Dokter, Mak? Kapan adik boleh pulang?" Tanyanya.
"Duduklah dulu. Kamu sudah makan?"
"Sudah, Mak. Emak makanlah dulu..." Ohtrie mengangsurkan bungkusan nasi yang dibawa kepada emaknya.
Emak Riri perlahan mengunyah nasi yang dibawa anaknya. Tatapan matanya kosong, terasa berat jiwanya diruntun lara, mengetahui penyakit anaknya, juga biaya yang diperlukan untuk biaya operasi.
"Adikmu terkena usus buntu. Katanya harus dioperasi, Trie." Mak Riri berujar pelan, titik-titik embun menetes di pipi keriputnya. Wajah tuanya tampak begitu lelah. Diusapnya rambut Wewet yang tertidur lemah. Sesekali terdengar rintihan kesakitan dari putri semata wayangnya itu. ia urung menyelesaikan makan paginya.
"Makanlah dulu, Mak. Nanti Emak pula yang sakit," Ohtrie menenangkan Emaknya. "Tak mengapa kalau harus dioperasi juga, Mak. Yang penting adik sembuh."
"Uang emak tak cukup, Nak...," Suara emak Riri menggantung. "Biaya operasi, membutuhkan tiga juta rupiah." Emak Riri mulai terisak, penuh sesak.
"Mak, Insya Allah ada rizki buat kita, Mak. Mak tenang saja, masih ada sedikit tabunganku, hasil dari ngelenong selain ngebecak tiap harinya," Ohtrie menghibur emaknya. Ia memahami betul perasaan emaknya, yang hanya seorang buruh cuci pakaian di sekitar perumahan tempat mereka tinggal.
Emak Riri menatap kedua anaknya bergantian. Sendu wajahnya, berubah sedikit cerah, melihat semangat anak lelakinya.

***
Mereka, keluarga kecil sederhana, yang terdampar di pinggiran kota Jakarta. dari tanah jawa mereka berasal, sudah hampir sepuluh tahun, mereka tinggal di Jakarta. Sejak usia Wewet dua tahun. Kini, Wewet sudah berusia dua belas tahun, remaja tanggung itu tidak dapat meneruskan sekolahnya, karena tidak ada biaya. Sementara emaknya menjadi buruh cuci di beberapa rumah gedong terdekat. Sedang Ohtrie sendiri, bekerja menrik becak ketika siang hari dan ikut bermain lenong keliling, dengan haji Luqman. Suami Mak Riri meninggal, ketika Wewet berusia lima tahun, terkena penyakit asma.

Ohtrie termangu di depan pintu rumah kontrakan kecilnya. Hatinya bimbang, sedang uang yang ada di tangannya, tak sampai satu juta rupiah. Ia memikirkan, bagaimana caranya memenuhi tiga juta rupiah seperti yang diucapkan emaknya pagi tadi di rumah sakit. Berbagai cara ia pikirkan, termasuk menjual becaknya. Tapi, apa ia akan laku? Kalaupun laku, apa pula yang akan dikerjakannya nanti?

Ah, kadang Ohtrie berpikir, kenapa Tuhan tak menjadikannya orang kaya saja...???

***

Seminggu berlalu. melalui operasi yang sedikit rumit, alhamdulilah, adiknya kini diperbolehkan pulang. Tidak seperti yang dikhawatirkannya, dengan mudah, ia dan emaknya memperolehi uang sebesar tiga juta seperti yang dibutuhkannya. Beberapa hari sebelum adiknya operasi, tetangga-tetangga di dekat rumah kontrakan mengunjunginya, termasuklah Bu Arie, ketua RT gank Delima. Mereka tak hanya datang memberikan doa dan semangat tapi juga bantuan materi. Ohtrie dan emaknya merasa sangat beruntung sekali. Meskipun tak sebanyak yang diperlukan, tapi ia sudah sangat meringankan beban.

Herannya, dari mana emaknya memprolehi uang tambahan lainnya?

***
Ohtrie berpikir keras “ Emak darimana ya mendapat tambahan satu setengah juta itu?” Padahal penghasilan Emaknya sangat pas-pasan, bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-haripun masih harus nombok dengan dirinya. Ketika ditanyapun, emaknya seolah enggan menjawab, hanya senyuman yang terulas dibibir Mak Riri. Berhari-hari relung pikiran Ohtrie dipenuhi rasa penasaran, yang kian membuncah dan susah untuk ditahan lagi.

“Aku harus tanyakan pada Emak, apapun resikonya.” Tekad Ohtrie dimalam temaram didalam biliknya yang sempit namun nyaman.

Esoknya, ketika matahari sudah meninggi, semuanya telah menyelesaikan sarapan ala kadarnya. Meskipun Wewet masih lemah, namun dia sudah bisa makan sedikit demi sedikit. Dia masih harus makan makanan yang dihaluskan, dan berkat bantuan tetangga pula, dia dapat makanan yang layak demi kesembuhannya.

Di dapur, sambil membersihkan piring-piring kotor, hanya ada Ohtrie dan Mak Riri. Ohtrie sejurus kemudian bertanya kepada emak yang sangat dia sayangi itu. Kali ini dengan nada serius.

“Mak, aku mau bertanya…darimana emak dapat tambahan uang satu setengah juta itu? Tolong Mak, jangan buat Trie penasaran.” Mak Riri tiba-tiba terhenyak. Dia tidak menyangka bila anak kesayangannya itu akan mendesaknya seperti itu. Ada sesuatu yang disembunyikannya, terlihat dari pelupuk mata yang penuh kerahasiaan yang berusaha disembunyikannya. Diletakkannya piring yang sedang dicucinya, kemudian Mak Riri menatap Ohtrie dengan penuh arti. Mak Riri beringsut menuju kamarnya, sambil member isyarat kepada anak lelakinya itu. Dikeluarkannya peti kayu tua berdebu yang ada dibawah ranjang reyotnya. Ohtrie makin penasaran, ketika Mak Riri mengeluarkan peti kayu itu. Ketika dibuka, terbelalak Ohtrie…

Seperangkat pakaian tari Lengger yang belum Ohtrie lihat sebelumnya. Dia menatap emaknya, sementara Mak Riri tersenyum lirih.

"Ini rahasia Emak, Trie"

***
Sepuluh tahun berlalu...

Mereka, sedang asyik duduk berdua di sebuah kedai makan di pinggir jalan. Dua gelas kelapa muda terhidang di meja. Seorang gadis duduk terpekur mengutak-atik kameranya. Sementara yang lelaki, serius memperhatikan gerak-gerik gadis di depannya.
"Minumlah dulu, Dik. Itu kan bisa nanti diutak-atik di rumah."
"Bentar, Mas, dikit lagi nih. Tanggung..." Ia kembali mengutak-atik kamera, mengeluarkan lensa lainnya dari dalam tasnya. "Kan pesta perkawinannya besok, Mas. Paginya, aku juga harus datang ke nikahannya. Eh, Mas, belikan aku tripod donk..."
"Hah?! tripod? Kan kamu udah ada."
"Yeee... Aku mau yang bagus, Mas. kan harganya lebih mahal. Maknya aku minta sama kamu, Mas."
"Huuuu... kalau giliran minta-minta aja kamu cepet." Lelaki itu menoyor kepala gadis di depannya
"Lah, aku mau minta siapa lagi, kalau bukan sama Mas Ohtrie? Kan aku cuma punya kamu, Mas."

Mendadak, suasana senyap. Mereka hening sesaat. Dua adik beradik, hanyut dalam perasaan masing-masing. Yah, gadis itu, Wewet, memang tidak punya siapa-siapa lagi kecuali Kakanya, Ohtrie, setelah ibunya meninggal, delapan tahun lalu. Kini mereka sudah dewasa, bukan lagi Wewet, yang dulu ikut mburuh nyuci baju mengikuti ibunya. Ia kini menjadi gadis enerjik, yang bekerja sebagai seorang wartawan pada sebuah surat kabar nasional. Dan kakaknya, Ohtrie, telah menjadi web designer di sebuah perusahaan asing.

"Mas, kamu nangis?" Wewet melihat mata kakaknya berembun.
"Ah, aku terbawa perasaan, Dik," Ohtrie menyeka air matanya cepat-cepat. "Ayo, Dik, habiskan minumanmu."
"Mas, Emak tak sempat yah, menikmati ahsil jerih payah kita?"
"Sudahlah, menjadi anak yang baik, dengan mendoakannya, semoga Emak tenang di alam sana."
Tanpa dikomando, mereka buru-buru menghabiskan air kelapa muda yang terhidang di depannya.

"Mas, kamu masih inget temenku, Aniez?" Mereka jalan beriringan, keluar dari kedai menuju mobilnya.
"Aniez? Aniez yang mana?" Ohtrie mengernyitkan dahi, menghentikan langkahnya.
"Alaaahhh... Aniez, temen aku ngaji. Mosok Mas lupa."
'Owh... Emang kenapa?"
"Eh, kok jawabnya datar githu, Mas?"
"Abis aku harus jawab gimana?"
"Alaaahhh... kan dulu Mas naksir sama dia." Wewet cengar-cengir, memamerkan gigi indahnya.
"Eh, siapa bilang?"
"Aku"
"Idiih, kamu ini. Bikin gossip aja." Ohtrie mulai senewen
"Yeeee.... Tapi bener kan...??? Mas mau lihat ini gak?" Wewet kembali membuka kameranya dan menunjukan beberapa slide foto seorang gadis manis dengan rambut keriting.

Deg, jantung Ohtrie tiba-tiba berdetak hebat. Gadis kecilnya, kini telah menjadi dewasa.

"Eh, kamu dapat di mana foto ini?" Ohtrie menyerobot kamera di tangan Wewet
"Eee... Enak aja, main serobot. Janjinya dulu, tripod." Wewet kembali cengar cengir
"Huh! punya adik satu matre amat," Ohtrie ngedumel. "Tapi, Dik, apa Aniez masih inget sama aku yah?" Ohtrie bersandar di pintu mobil. "Kita kan sudah lama nggak ketemu."
"Ah, itu beres, Mas. Selagi ada tripod, selagi itu ada Aniez."
Ohtrie geram mendengar kalimat adiknya. "Mbok kamu ini jangan mikirin diri sendiri mulu!" Ohtrie menjiwit lengan adiknya.
"Adowww... Sakit, Mas."
"Dik, Aniz udah punya cowok belum yah?" Ohtrie melepaskan cubitannya.
"Setahu aku sih belum, Mas."
"Mmm... Dik, apa kira-kira Aniez mau sama Masmu ini?"
"Yah pasti maulah... Kalau nggak mau, pelet aja."
"Hus! sembarangan... Mana boleh pelet-pelet. Itu musyrik, Dik, musrik."
"Idiiihhh... Mas Trie ni, ini pelet halal tau. Pelet asli korea, bukan made in Indonesia."
"Apaan, Dik?" Ohtrie mulai antusias.
"Yeee... tadi katanya musyrik. Sekarang nanya pula. Tapi janji tripod yah, Mas?"
"Iya deh, aku janji. Sekarang, apa coba peletnya."
"Pelet Korea?" Wewet bertanya jenaka kepada Kakaknya
"Iyalah, apalagi?"
"gampang, Mas. Mas silakan ambil kotoran ayam, tempelin aja ke Aniez, yakin deh, Mas bakalan dikejar-kejar." Wewet tertawa terbahak-bahak. Ia buru-buru masuk ke dalam mobil. Ohtrie mengejarnya dan langsung duduk di belakang kemudi. tanpa ampun, ia mencubiti adiknya habis-habisan.

Senja, mulai temaram. Malam mulai turun. Perlahan-lahan, mobil berlalu meninggalkan area kedai pinggir jalan. Ah, hari, tak selamanya kelabu.

Kolaborasi:

Reny Payus+Anazkia+Bambang priantono (No. 113 "Trio Gemblung")

Saksikan karya-karya FFK lainnya sebagaimana yang tertera pada link berikut ini : http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/03/18/festival-fiksi-kolaborasi-jumat-18-maret-2011/

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun