Dari sejak saya pertama kali mendengar informasi tentang Perpres ini, saya mendengar ada dua kubu, yang optimis dan pesimis, yang pendapatnya bertentangan dalam menanggapi dikeluarkannya peraturan baru ini. Karena sering dengar, saya jadi tertarik untuk membahasnya disini dan menanyakan pendapat dari rekan-rekan semua.
Dari kacamata seorang optimis, hal tersebut tentu merupakan suatu kabar yang sangat menggembirakan. Karena dengan demikian maka kedepannya setiap TKI yang diberangkat ke luar negeri adalah orang-orang terpilih yang telah terseleksi secara kesehatan dan psikologis. Ditambah dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan sebelumnya, para TKI kini sudah seperti sekelompok pasukan elit yang telah ditempa terlebih dahulu dan telah disertifikasi sebelum diterjunkan ke medan laga. Jika sebelumnya persyaratan lebih banyak bersifat formal dan teknis, kini dengan adanya persyaratan kesehatan dan psikologis tentu akan menelurkan para TKI yang sudah sangat mumpuni untuk bekerja di negeri orang. Hal ini tentu akan mengangkat kredibilitas para TKI itu sendiri, dan pada akhirnya diharapkan dapat meminimalisir stigma-stigma maupun perlakuan kepada para TKI, khususnya yang bekerja di sektor informal, yang selama ini seperti dipandang sebelah mata.
Namun, jika dilihat dari perspektif seorang pesimis, sudah barang tentu pendapat yang keluar adalah peraturan ini tidak akan membawa perubahan menuju kebaikan bagi para TKI dan disinyalir hanya akan menjadi satu lagi lahan pungli terhadap mereka.
Yah, mungkin memang tidak ada yang benar ataupun salah dari kedua pandangan tersebut, tetapi saya tertarik untuk sedikit membahas fakta di lapangan berdasarkan pengetahuan saya yang sedikit tentang hal ini. Sebagai catatan, khusus untuk artikel ini, yang saya maksud dengan TKI adalah TKI yang bekerja di sektor informal yang mayoritas bekerja sebagai PRT.
Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, sebagian besar masalah TKI yang ada diakibatkan oleh hal-hal berikut ini:
- TKI (meskipun telah mendapat sertifikasi keahlian dan bahasa) ternyata tidak memiliki kemampuan yang sesuai dengan kualifikasi sertifikatnya;
- TKI memiliki dokumen-dokumen yang 'aspal' (asli tapi palsu, biasanya pemalsuan umur);
- TKI ditipu oleh agen 'nakal' yang mengirimnya.