Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Pakaian dan Kepalsuan

28 Mei 2014   18:01 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:01 610 0
Pakaian dan Kepalsuan adalah judul drama karya Achdiat K Mihardja saduran naskah drama karya daramawan Rusia, Averchenko berjudul The Man with the green Necktie. Drama ini pernah ditayangkan TVRI dengan pemeran utama Slamet Rahardjo.

Hamid, salah satu tokoh dalam drama itu mengatakan, “Dengar, Rus, politik dan pemimpin politik adalah dua hal yang seperti meja dan kursi, sama sekali tidak sama. Atau lebih tepat lagi, tak ubahnya dengan agama dan penganutnya atau pemimpinnya. Dua pengertian yang berbeda-beda, karena kalau yang satu merupakan tugas, maka yang lainnya merupakan petugasnya. Kalau petugasnya jahat, itu tidak boleh diartikan bahwa tugasnya jahat pula. Betul tidak? Dan kalau kita ketahui, bahwa politik sebagai tugas ialah berarti bersama-sama mengatur susunan hidup, sehingga kepentingan dan kebutuhan hidup tiap orang bisa terpenuhi, lahir maupun batin, maka bisakah kita pertahankan kebenaran slogan tadi itu yang mengatakan, bahwa politik itu kotor? “

Biarlah Hamid dengan pendapatnya itu, kali ini saya hanya ingin pinjam judulnya saja. Pakaian dan Kepalsuan. Kemarin kita disuguhkan dua tontonan politik yang tak kalah menarik dengan drama Achdiat itu. TV One menayangkan deklarasi timses Prabowo-Hata, Metro tv menayangkan deklrasi timses Jokojeka. Persamaannya, kedua kubu mengecam kampanye hitam. Keduanya bertekad mengusung kampanye santun. Perbedaannya, kubu Prabowo-Hatta lebih banyak bicara soal yang lebih luas, soal kebangsaan, kubu Jokojeka, terutama Jokowi lebih banyak menyindir lawan politiknya, minim sekali bicara soal kebangsaan.

Salah satu yang disindir oleh Jokowi adalah soal pakaian. Dia menyebut seragam putih-putih adalah idenya, kubu prabowo sebagai follower, yang kontan disambut tepuk tangan riuh para hadirin. Dia juga menjabarkan filosofi seragam barunya. Dia sengaja tidak seragam dengan Jeka, dia lebih memilih baju kotak-kotak, dan Jeka tetap dengan baju putihnya. Dia juga membanggakan ketidak seragaman itu sebagai revolusi seragam, keluar dari pakem seragam seperti yang dikenakan oleh lawan politiknya, Prabowo-Hata.

Agak aneh memang, suasana politik itu hanya dimanfaatkan Jokowi untuk mengomentari seragam seperti rumpian ibu-ibu pengajian yang mengomentari seragam pengajian barunya yang belum lunas. Membanggakan seragamnya lebih baik dari seragam lawan politiknya. Membanggakan segaram sih sah sah saja, tapi kalau sudah membandingkan dengan seragam lawan politiknya, ya itu…persis kaya ibu-ibu pengajian,rumpiii deh.

Bicara filosofi seragamnya juga nampaknya tidak konsisten dengan filosofi kotak-kotak semasa kampanye gubernur DKI. Dalam satu kesempatan Jeka mengatakan, seragam yang tidak seragam itu menggambarkan kebhinekaan. Berbeda baju, tapi satu tujuan. Padahal dulu, filosofi kotak-kotak ala Jokowi juga disebut sebagai kebhinekaan. Lha kalau sekarang ketidak seragaman disebut sebagai kebhinekaan, lalu apa makna kotak-kotak?

Supaya nggak kebanyakan usil, saya sudahi saja usilan ini dengan pesan, silakan membanggakan pakaian yang dikenakan, tapi kalau sudah menjelekkan pakaian lawan politiknya, itu namanya pencitraan. Dan biasanya pencitraan dibayangi dengan kepalsuan. Nah, nyambung kan judulnya, Pakaian dan Kepalsuan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun