Saya seorang guru. Menyebutnya saja bisa membuat bangga apalagi benar-benar melakoninya. Saya benar seorang guru, guru honor, guru yang dianggap sebagai pelengkap saja di sebuah sekolah. Bagaimana tidak, saya hanya mengajar jika tersedia jam kosong atau lebih dari guru pegawai negeri. Tidak hanya saya, guru honor lainnya juga mendapatkan perlakuan yang sama. Di saat isu sertifikasi semakin santer mengarak guru pegawai negeri untuk memenuhi 24 jam pelajaran dalam seminggu, tergerus pula jam pelajaran bagi kami guru honor. Guru-guru tersertifikasi wajib mengajar supaya dianugerahi gaji dua kali lipat di awal bulannya, atau di rapel percatur wulan. Sebagian guru honor lain, teman saya sendiri, malah datang ke sekolah sekadar menampakkan diri supaya terdata sebagai honorer walaupun tidak ada jam mengajar. Harapan diangkat menjadi pegawai negeri semakin menjadi asa yang tak terbendung, belum lagi informasi yang beredar bahwa honorer tidak akan diangkat lagi jadi pegawai negeri. Secara sadar atau tidak, mungkin hanya untuk menyenangkan hati lara, kami berkata pada diri sendiri akan sebuah kesabaran pasti ada hasil.