"Rumah adalah tempat dimana kita membina keluarga ini," kata saya pada istri tercinta pada suatu hari di pertengahan 2005, empat tahun yang lalu. "Tempat dimana anak-anak tumbuh dan dibesarkan. Alangkah indahnya jika mereka dibesarkan dalam lingkungan yang bersih dan menentramkan." Istri saya tersenyum. "Aku setuju, Mas. Tidak hanya makanan dan minuman mereka yang harus bersih dikonsumsi,
halal dan
thayib, tetapi juga rumah, tempat yang dibangun untuk mereka tumbuh dan dibesarkan." Saya memandang wajahnya sungguh. "Bagaimana kalau kita membeli rumah Bu Darwoto itu lewat KPR bank syariah saja?" Ia lagi-lagi tersenyum. Senyum terindah dari senyum-senyum terindahnya sepanjang masa. "Tidak ada alasan buatku untuk tidak setuju. Memang kenapa kalau di bank syariah? Sulit?" "Bukan," jawab saya. "Prosesnya sama saja. Tetapi, katanya cicilan per bulannya meski
flat, tetapi lebih besar dari KPR di bank konvensional." "Kalau itu sih tak mengapa," kata wanita tercantik saya itu. "Menumbuhbesarkan anak-anak dalam naungan rumah yang menentramkan jauh lebih penting daripada rupiah yang kita keluarkan." Saya menggangguk. Saya setuju. "Dengan niat baik itu, semoga Allah memudahkan kita mengangsurnya setiap bulan.
InsyaAllah," tambahnya penuh pengharapan. "Kapan kita ke bank syariah?"
KEMBALI KE ARTIKEL