Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Kearifan yang Hilang!

11 Maret 2013   12:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:58 136 0
Para Panrita (orang yang berilmu tinggi) di sulsel di masa dulu hanya belajar sedikit dan sederhana namun proses belajarnya penuh kesungguhan. Biasanya di dalam kamar antara murid dan guru berdiskusi sedikit saja prinsip-prinsip kehidupan, setelah itu pengetahuannya menjadi jembatan menjalani kehidupan. Tidak heran mereka belajar sedikit, tapi arif bahkan sangat dalam pengetahuannya, memiliki karakter sebab unsur dasar pengetahuan itu memiliki nilai siri' na pacce, kemanusiaan dan kehidupan sosial.

Sekarang kita menyaksikan orang belajar tiap hari dikelas, didepan lettop bahkan dimana-mana namun ilmunya sangat sempit, dangkal bahkan jauh darin harapan sebab penghormatan pada proses belajar tidak lagi sakrat, antara guru dan murid tidak lagi memiliki hubungan batin secara baik. Demokrasi, modernisasi akhirnya kita mulai ragukan dalam membantuk watak bahkan sistem pengajaran paling canggih tidak akan pernah menciptakan pendidikan berkarakter, apalagi arief sebab ini berkaitan dengan jiwa dasar ilmu adalah kesucian, pengorbanan dan kesiapan menerima.


Ada ulama besar yang pernah diceritakan kepada saya, bahwa dia hanya belajar sehari untuk memahami Al-Qur'an, ada juga hanya belajar beberapa jam saja sudah cukup mengelahkan kualitas ilmu gurunya. Ini menandakan kualitas dan karakter dasar pendidikan bukan ditentukan lamanya belajar namun proses penjiwaan jauh lebih kuat dari belajar teoritik. ilmu ketimuran hakikatnya faktual dan arief berbeda dengan barat sangat ilmiah dan teoritik sehingga miskin penjiwaan. Jika mekanisme pendidikan kita mau paksakan dalam sistem pengajaran teoritik sama saja mengajak generasi meninggalkan jiwa negaranya, atau identitas dasarnya.

Ada juga seorang anak didi yang belajar di Mesjid pada seorang ulama besar dimasanya. Dia setiap hari pekerjaannya hanya membersihkan halaman mesjid, tempat sholat setelah itu dia ikut mendengarkan sang ulama mengajar santerinya dengan seksama meski dari jarak yang begitu jauh. Dia ingat setiap pelajaran itu tanpa harus bertanya cukup menjadi pendengar dan menghargai orang yang akan belajar dengan menyiapkan lokasi bersih.

Ternyata, saat sang guru meninggal berpesan pada anaknya, jika saya sudah meninggal dunia penggantiku adalah murid yang membuat tasbih saya melompat masuk ke lehernya. Karena itu, setelah kematian sang guru besar dimintalah seluruh murid berkumpul sambil berdoa, tapi tasbih sang guru tidak bergerak sama sekali, lalu bertanyalah sang anak ulama tadi. pasti ada yang tidak hadir muridnya. Lalu murid yang hadir mengatakan sudah ada semua, hanya yang tidak hadir tukang sapi yang selalu mebersihkan tempat belajar kita.

Setelah mengetahui itu maka dimintalah salah seorang murid memanggil anak muda yang selalu membersihkan tempat belajar sekaligus sholat. Sang anak muda datang sambil duduk bersama melingkar dengan murid-murid lainnya, ternyata Tasbih sang guru melompat kepadanya, dan seluruh teman-temannya yang sudah makam ulama heran dan tidak percaya.

Setelah selesai acara tersebut maka besoknya semua berkumpul kembali ternyata, sang murid lainnya heran karena pembersih kelas belajar justru sangat paham bahkan bismillah dia tafsirkan berkali-kali jauh dari pengetahuan sang guru. Ini menjadi tanda ilmu yang berkarakter dan dalam merupakan penjiwaan dari proses penghormatan pada ilmu.

JRWB, 11.03.2013,19.01

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun