Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Tidak Ada Kata Terlambat Untuk Trisakti

17 Agustus 2014   21:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:18 51 0
Indonesia telah menyelenggarakan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, sekaligus menyongsong kepemimpinan baru, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden dua periode berturut-turut. Pada pemerintahan baru mendatang, rakyat “menitip” pesan jelas tentang pentingnya peningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sebagai jawaban atas pesan itu, pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) saat ini menyodorkan visi dan misi tentang pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Kedua pasang calon “mengumandangkan” visi Trisakti yang digagas dan diperkenalkan Presiden pertama RI Soekarno (Bung Karno), yakni mandiri dalam kehidupan politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan kepribadian dalam kebudayaan.

Visi tersebut sangat tepat. Melalui kemandirian, secara ekonomi, suatu bangsa akan mampu mengangkat harkat dan martabat, dengan dilandasi kerja keras dan kepercayaan diri, seraya mengurangi ketergantungan yang berlebih kepada pihak lain. Ketergantungan akan memunculkan kemalasan dan memicu tindakan jangka pendek yang cenderung menjerumuskan.

Namun, meminjam pendapat Ahmad Erani Yustika (2014), visi dan gagasan kemandirian ekonomi kerap kali terbentur problem kerakusan yang tak berujung mengalahkan akal sehat. Mental inilah yang mengikis etos kerja keras sehingga orang makin pragmatis dan korup. Implikasi mental pragmatis-miomik ini sangat fatal karena menyandera kepentingan-kepentingan kolektif yang jauh lebih besar.

Dalam konteks globalisasi, visi kemandirian bukan berarti alergi terhadap investasi luar negeri. Penanaman modal asing (PMA) masih diperlukan untuk membantu meningkatkan daya saing, menggenjot produktivitas, serta memicu pertumbuhan ekonomi. Namun, kita perlu memilah, memilih, dan memastikan PMA, khususnya di bidang pertambangan dan migas, selaras dengan acuan yang digariskan konstitusi.

Seperti kita pahami, saat ini PMA di bidang pertambangan dan migas masih menjadi primadona yang menggiurkan investor asing. Berdasarkan data BKPM (2014), pada 2013 investor PMA di sektor pertambangan menyumbang sekitar 16,8 persen dari total PMA (US$ 4,8 miliar). Sementara itu, penanaman modal dalam negeri (PMDN) pertambangan menyumbang 14,6 persen dari total PMDN atau Rp 18,8 triliun.

Di sektor migas, penguasaan cadangan migas oleh perusahaan asing juga masih dominan. Dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor kerja sama (KKKS) non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing dan hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional, serta sekitar 77 blok dioperasikan perusahaan gabungan asing dan lokal.

Selain sektor energi, kemandirian pangan Indonesia juga boleh dibilang cukup mengkhawatirkan. Sampai 2013, kita masih mengimpor bahan-bahan pangan yang utama, misalnya beras, jagung, kedelai, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, daging sapi, daging ayam, garam, singkong, dan kentang (BPS, 2013). Fenomena impor bahan pangan ini jelas menjadi alarm bagi kita untuk merumuskan kembali strategi kemandirian dan ketahanan pangan.

Di sisi lain, keuangan negara kita masih terus dibebani tingginya utang luar negeri. Bank Indonesia (2014) mencatat total utang luar negeri Indonesia per Januari 2014 mencapai US$ 269,27 miliar atau Rp 3.042,751 triliun. Selain membebani APBN, tingginya tingkat utang juga berpotensi mengikis kemandirian politik suatu negara sebagaimana pengakuan mantan bandit ekonomi John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man (2004).

Gambaran di atas sekurang-kurangnya menjadi potret bagaimana kondisi kemandirian kita. Tentu, kita juga tidak boleh melupakan capaian-capaian yang telah dilakukan pemerintah selama ini. Memudarnya kemandirian ekonomi dilihat dari tiga aspek tersebut juga sekaligus menyiratkan optimisme bahwa tidak ada kata terlambat untuk membumikan visi kemandirian ekonomi. Terlebih lagi, visi kemandirian merupakan amanat yang dilindungi UUD 1945.

Menggerakkan BUMN
Dalam aras konstitusi, BUMN merupakan manifestasi riil negara dalam melakukan pengurusan dan pengelolaan perekonomian. Sektor ini menjadi salah satu instrumen ekonomi yang dapat digerakkan sebagai lokomotif pembangunan nasional, menjadi mesin pertumbuhan ekonomi (engine of growth) serta memajukan usaha kecil dan menengah (UMKM).

Potensi BUMN untuk menggerakkan perekonomian nasional memang sangat besar. Menurut Kementerian BUMN, aset perusahaan pelat merah berupa tanah dan bangunan saat ini mencapai Rp 121 triliun dari total aktiva tetap yang mencapai Rp 690 triliun. Sementara itu, total aset BUMN bisa mencapai Rp 6.000 triliun. Jika perusahaan negara ini dapat dikelola dengan efisien, tentu dapat menjadi andalan pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan nilai dividen.

Sebagai catatan, setoran dividen BUMN tahun 2014 diprediksi hanya berkisar Rp 38,5 triliun dari target yang ditetapkan sebesar Rp 40 triliun. Nilai ini tentu relatif kecil apabila dibandingkan nilai penyertaan modal negara (PMN) yang besar. Selama 2007-2012, nilai PMN sekitar Rp 39,6 triliun dan pada 2012 negara menyatakan kembali modalnya dalam bentuk dana segar yang mencapai Rp 7,6 triliun. Sementara itu, bantuan pemerintah yang belum ditetapkan statusnya (BPYBDS) di BUMN mencapai Rp 50 triliun.

Ke depan, kita berharap aset dan potensi BUMN dapat dimanfaatkan secara maksimal dan dikelola secara efisien dan/atau tidak boros agar memberikan nilai tambah yang lebih bagi kemajuan ekonomi nasional. BUMN juga mengelola program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang dananya diperkirakan mencapai Rp 25,75 triliun pada 2012. Dana PKBL dapat dijadikan sebagai stimulus untuk membangkitkan geliat ekonomi kecil dan menengah (UMKM).

Di luar itu, dalam bingkai visi kemandirian kiranya perlu dikaji ulang mengenai peran BUMN di sektor pertambangan dan energi. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, saat ini pengelolaan SDA masih didominasi investasi luar negeri.

Sangat bijak apabila pemerintah ke depan dapat menemukan formulasi (a.l; dengan renegosiasi) yang jitu agar cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dapat dikuasai (kembali) negara demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini penting karena—meminjam Prof Edi Swasono (2014)—nasionalisme harus mengutamakan kepentingan nasional tanpa harus mengabaikan tanggung jawab global.

*Penulis adalah Anggota VII BPK RI dan Lektor Kepala di IPDN.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun