Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Sayang Aku Bukan Sastrawan!

7 November 2011   12:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:57 242 0
Sore ini ku buka website kompasiana. Dadaku sesak. Lemas. Dan akhirnya ku benci diriku. Satu hal yang ku sesalkan; Kenapa Aku Bukan Sastrawan! Satu hal yang ku sesalkan; Seandainya Aku Sastrawan, Hilda @hammer City pasti tidak memasung penaku seperti sekarang! Deretan nama pujangga yang ku kagumi sekarang telah luruh; Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohammad, W.S. Rendra, Widji Thukul, Pramoedya Ananta Toer, A. Mustofa Bisri, Umar Kayam dan ribuan dewa-dewa pena yang namanya tak pernah kering dalam pergolakan jaman hanya tinggal kenangan. Sekitar 40 tahun yang lalu, Pramoedya, Widji Thukul dan beberapa sastrawan berjuang merebut kebebasan sastra dari cengrkaman kekuasaan Suharto. Walaupun, sempat mereka kalah. Namun, semangatnya tak kenal menyerah. Akhirnya, masa jahiliah Suharto lebur. Mereka menang. Aku ingin meniru itu, tapi siapa aku? Aku adalah "sastrawan picisan" yang sekarang telah dinobatkan menjadi "sastrawan instan". Meskipun berbagai cara kulakukan, tetap saja "karya-karyaku" tetap instan. Maaf, aku menggunakan kata "karya-karyaku" yang seharusnya itu tak layak untuk disandang oleh "sastrawan instan" sepertiku. "Karya" adalah kata suci yang hanya tepat dilekatkan untuk orang habat seperti mereka termasuk Hilda. Dan oleh karenalah mereka merebut kebebasan sastra. Namun, setahuku mereka tidak congkak. Setahuku mereka tidak pernah menyalah tulisan awam. Setahuku mereka tidak memaksa orang untuk menulis fenomenal; karena mereka tahu hal itu adalah bagian dari kebebasan. Dan mereka memang paham apa itu kebebasan Joko Pinurbo: “…. Ketika Sastra tidak lagi dimasuki lewat pergulatan jalan sunyi yang penuh kesabaran, pergulatan kreatif yang merupakan sebuah jalan sunyi, ia akan menjadi sastra instan….” merupakan sebuah kalimat yang bijaksana (semoga penafsiranku salah). Kalimat ini adalah petuah, dan cahaya suci bagi jalan-jalan kaum "sastrawan instan". Kalimat ini bukan senjata untuk mencaci. Hanya saja mungkin, kalimat ini berubah makna jika ditafsir dengan picik. Mungkin, siapa tahu? Tapi, mustinya engkau ingat wahai "sastrawan non-instan"; sekitar 300 tahun yang lalu (1740-1814), Marquis de Sade mendapat cemo'oh yang tidak jauh beda denganku. Karyanya, hanya dinilai sampah karena mengumbar kata-kata bentuk kelamin dan hubungan intim seperti; punting, penis, vagina, selangkangan dan apapun yang menurut orang pada waktu itu sesat. Namun lihatlah, meskipun penjara sebagai balasanya, bahkan lidahnya pun harus terpisah dari ruang mulutnya,Dia tetap berdiri tegak di tempatnya. Meskipun, tanpa sarana berkarya, hingga akhirnya darah pun dipakai sebagai tinta. Lebih parah, ketika darahnya kering, tinja pun kemudian menggantikan. Inilah kekuatan kebebasan! wahai engkau "sang sastrawan non-instan". Tapi siapakah aku? pantaskah aku menggugat pada seseorang yang telah membaca artikel laporan temu sastra? Aku bukanlah sastrawan. Ya, sayangnya aku bukan sastrawan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun