"Lho itu pilihan yahud lo, Di? Kok dirimu njegeges ki nopo?" tukas Mas Kriwil.
"Lho lha sak senengku to ya, wong cangkemku dewe okh, kok kowe ngurusi!" balas Wakidi santuy.
"Iya tuh, orang kok klecam-klecem tok. Kayak ndak punya prinsip gitu lho," Mbak Erna ikut nanggapi.
Yang lain ikut terpengaruh, lantas mereka bergiliran menimpali sikap Wakidi, bahkan cenderung seperti membuli. Haduh, gara-gara njegeges aja kok bisa dimaknai seperti itu, batin Wakidi.
"Njegegesmu ki soale nggak enak ya, Di. Kayak meremehkan sesuatu yang sedang berlangsung di depan mata, maksudmu apa ta?" tanya Mas Maiman tajam.
Suasana angkringan Mberok Corner mendadak tegang dan serius. Semua menunggu jawaban dari Wakidi soal pencalonan. Wakidi mlongo.
"Asu ikh, serius banget." Sambil tertawa Wakidi melanjutkan, "Gini lo gaes, aku teringat dengan Maureen Murphy, pelawak Australia yang mengatakan, kenapa begitu sedikit politisi wanita adalah karena terlalu merepotkan untuk merias muka di dua wajah," kata Wakidi tenang.
"Ra cetha!" tukas Yu sekar.
"Lha emang ra cetha. Dalam politik itu diniscayakan untuk menjadi abu-abu. Dalam politik tak ada musuh atau kawan abadi, kira-kira kuwi cetha ra? Jare Nikita Kruschev, mantan kepala pemerintahan Uni Soviet, politisi itu berjanji membangun jembatan, meski tidak ada sungainya. Jadi akeh ra cethane. Paham ra?"
"Lha opo hubunganya dengan Pilwakot Semarang?"
"Lha mbuh. Nggak ada hubungan gak mengapa, kalo mau dihubung-hubungkan ya isa wae! Misalkan, bayangkan saja, rekomendasi keluar satu hari menjelang pendaftaran berakhir, bisa dianggap ketidakjelasan juga, kan? Namun bisa dibilang itu adalah strategi, atau beralasan apa saja juga boleh, ya to?" kata Wakidi mencari kesan.
"Terus juga calon wakilnya yang ASN disinyalir sengaja melanggar asas netralitas PNS, bukankah ia belum minta cuti ketika secara terang-terangan melakukan penjajagan politik tehadap beberapa partai? Ah mbuhlah, makanya njegeges aja to," katanya rileks.
"Lho hal itu kan bukan masalah besar to, Di?" Bela Mbak Sanesmonika. Semua terdiam menunggu jawaban Wakidi.
"Di dunia ini mana ada masalah besar dan kecil. Masalah itu ya masalah, tafsiran terhadap persoalan itu yang digede-gedein. Lha saya njegeges aja jadi masalah to buat kalian? Saya kan cuma mbayangin aja, piye perasaane kader yang sudah pasang baliho di mana-mana, sudah silaturahmi ke mana-mana, ngoyoworo meningkatkan elektabilitas. Mak bedundug langsung ambyar, diganti sama yang 0% elektabilitas, terus dengan semena-mena, dengan sandaran tegak lurus perintah partai, waduh," kata Wakidi masih dengan njegeges.
Semua terdiam merasakan adanya kebenaran di balik celoteh Wakidi. Suasana mulai serius.
"Suwog, dadi serius. Wes ngopi wae ben ora mumet! Politik itu kayak maen lompat tinggi pakai karet gelang, pas bersiap mau lompat mengucapkan JALSUNG TILEN, njajal langsung mati balen. Kalo pas coba-coba berhasil ya Alhamdulillah, kalo gagal yo isa dibaleni meneh," teriak Wakidi sebelum menyeruput kopinya.(mbahmardjo)